Ini 6 Penyebab Pasar Kripto Chaos

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
Selasa, 26/07/2022 17:30 WIB
Foto: Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebelum adanya kasus kejatuhan koin digital (token) Terra, pasar kripto sudah membentuh tren penurunan sejak awal tahun ini.

Hal ini karena investor menilai bahwa pada tahun ini, inflasi global diprediksi melonjak dan membuat banyak bank sentral mengetatkan kebijakan suku bunga acuannya.

Di Bitcoin, sepanjang tahun ini saja harganya sudah ambruk hingga 55,8%, berdasarkan data dari CoinMarketCap. Sedangkan dari harga tertingginya sepanjang masa atau all time high (ATH) di US$ 69.000 yang terbentuk pada November tahun lalu, Bitcoin sudah anjlok sekitar 70%.


Dari kapitalisasi pasarnya, Bitcoin yang sebelumnya sempat menyentuh lebih dari US$ 1 triliun pada November tahun lalu, kini kapitalisasi pasarnya sudah jauh berkurang yakni mencapai US$ 400 miliar.

Tak hanya di Bitcoin saja, Ethereum, token alternatif (alternate coin/altcoin) terbesar berdasarkan kapitalisasi pasarnya juga merana pada tahu ini.

Sepanjang tahu ini, Ethereum sudah ambles hingga 62,35%. Sedangkan dari posisi ATH-nya di sekitar US$ 4.800 pada November 2021, Ethereum sudah ambrol nyaris 71%.

Dari kapitalisasi pasarnya, Ethereum yang sebelumnya sempat menyentuh nyaris US$ 570 miliar pada November tahun lalu, kini kapitalisasi pasarnya mencapai US$ 170 miliar.

Sejatinya, koreksi parah di kripto bukan baru terjadi pada tahun ini. Secara historis, pasar kripto sudah mengalami koreksi parah beberapa kali, yakni pada tahun 2017 dan pertengahan 2021.

Tetapi dibandingkan dengan sebelumnya-sebelumnya, koreksi parah kripto tahun ini menjadi yang paling parah karena berdampak pada banyaknya perusahaan kripto yang mengalami krisis likuiditas.

Terlepas dari volatilitasnya yang cukup tinggi, banyak investor masih tertarik pada cryptocurrency. Menurut Vin Narayanan, vice president of strategy Early Investing, ketika adopsi kripto meningkat maka pergerakannya akan cenderung stabil.

"Ketika adopsi kripto meningkat, itu akan menjadi lebih stabil. Sampai saat itu, bagaimanapun, investor mungkin ingin tahu apa yang harus dicari sehingga mereka tidak terbakar oleh crash kripto," kata Narayanan, dikutip dari US News & World Report.

Namun apa penyebab kejatuhan kripto tahun ini lebih parah dari tahun 2017 dan 2021, berikut adalah enam penyebabnya.

1. Investor Banyak yang Memakai Pinjaman

Beragam cara bisa digunakan oleh investor di kripto untuk mendapatkan keuntungan trading yang lebih besar dan tentunya cepat. Salah satunya adalah dengan menggunakan cara leverage.

Leverage adalah strategi investasi dimana investor menggunakan utang (modal pinjaman) untuk meningkatkan potensi pengembalian (return) investasi mereka.

Tujuannya adalah untuk melipatgandakan potensi keuntungan dari sebuah proyek. Namun di sisi lain, strategi leverage ini juga bisa meningkatkan risiko kerugian apabila investasi tidak berjalan dengan baik.

Leverage dalam trading baik di saham maupun kripto terjadi ketika seorang trader meningkatkan posisi investasi mereka dengan menggunakan berbagai instrumen mulai dari kontrak option, kontrak future, maupun transaksi margin. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan return yang bisa mereka peroleh.

Dengan banyaknya investor atau trader yang menggunakan metode ini, maka risikonya pun semakin besar. Apalagi kebanyakan investor di kripto merupakan investor ritel yang tentunya belum paham menyeluruh terkait metode ini.

Berdasarkan data dari perusahaan kripto kuantitatif yakni CryptoQuant, rasio leverage Bitcoin mencapai tertinggi sepanjang masa pada awal Januari lalu, menandakan bahwa investor banyak mengambil risiko di ruang kripto.

Namun, menurut Simon Peters, senior account manager di eToro, mengatakan bahwa jumlah leverage ini bisa mengejar volatilitas kripto dalam waktu dekat.

"Seperti kelas aset lainnya, penurunan harga dapat menyebabkan likuidasi posisi jangka panjang. Kemudian, ketika harga turun dan pemegang kontrak berjangka mulai melikuidasi posisi mereka, harga bisa turun lebih jauh. Ini adalah siklus yang mirip dengan apa yang terjadi pada pasar saham pada tahun 1929 dan 2008," kata Peters, dilansir dari US News & World Report.

Namun jenis crash seperti ini sangat berbahaya bagi pasar seperti kripto yang pergerakannya cenderung tidak likuid.

2. Kurangnya Likuiditas di Pasar Kripto

Masalah terbesar yang dihadapi pasar kripto ketika investor mengambil leverage tidak mampu memenuhi likuiditasnya dan menyebabkan krisis likuiditas.

Tak semuanya kripto memiliki kapitalisasi pasar dan persediaan yang terbatas. Ada kripto yang kapitalisasinya sangat kecil dan persediaannya tidak terbatas.

Untuk beberapa kripto dengan kapitalisasi pasar kecil, perputaran dana bisa jadi sangat kecil dan transaksi sangat minim. Dengan dana yang sedikit maka likuiditas akan terhambat dan proses menjual atau membeli token akan sulit dilakukan.

Karena itu, faktor likuiditas ini sangat penting diperhatikan jika ingin beli kripto, semakin tinggi likuiditasnya semakin baik, dan sebaliknya.

Apalagi, jika ada investor yang tidak dapat memenuhi margin call-nya setelah investor tersebut mengambil posisi margin.

Margin call adalah suatu istilah yang terjadi saat broker akan memberitahukan pemegang posisi untuk melakukan penambahan modal atas dasar transaksi margin.

Seperti di saham, hal yang mengerikan akan terjadi apabila sang pemegang posisi tidak mampu membayar margin call tersebut.

Apabila tidak mampu menyetorkan dana dalam kurun waktu tertentu, sang broker akan melakukan penutupan terhadap seluruh posisi yang dimiliki oleh investor baik melakukan penjualan pada posisi long (forced sell) ataupun pembelian pada posisi short.


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Masa Depan Ekosistem Kripto Indonesia

Pages