
Ngamuk di Awal, Rupiah Malah Berakhir Stagnan! Ada Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah di awal perdagangan Selasa (26/7/2022) "mengamuk" dengan menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS). Sayangnya penguatan tersebut gagal dipertahankan, terus terpangkas hingga berbalik melemah.
Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka, rupiah melesat 0,43% ke Rp 14.930/US$. Level tersebut menjadi yang terkuat hari ini. Rupiah malah sempat menyentuh lagi Rp 15.000/US$ atau melemah tipis 0,03%.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.995/US$, stagnan alias sama persis dengan posisi penutupan perdagangan kemarin.
Tanda-tanda rupiah batal menguat sudah terlihat di pasar non-deliverable forward (NDF) di mana posisinya lebih lemah beberapa saat sebelum penutupan ketimbang pagi tadi.
Periode | Kurs Selasa (26/7) pukul 8:56 WIB | Kurs Selasa (26/7) pukul 14:59 WIB |
1 Pekan | Rp14.932,5 | Rp14.980,0 |
1 Bulan | Rp14.953,0 | Rp15.003,0 |
2 Bulan | Rp14.980,0 | Rp15.030,5 |
3 Bulan | Rp15.011,0 | Rp15.058,0 |
6 Bulan | Rp15.076,0 | Rp15.136,0 |
9 Bulan | Rp15.148,0 | Rp15.203,0 |
1 Tahun | Rp15.291,0 | Rp15.273,0 |
2 Tahun | Rp15.786,4 | Rp15.780,6 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Gagalnya rupiah mencatat penguatan tidak lepas dari bank sentral AS (The Fed) yang akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis dini hari waktu Indonesia.
The Fed sejauh ini sudah menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali dengan total 150 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%.
Pasar memperkirakan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%. Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, probabilitas kenaikan tersebut sekitar 80%. Namun, ada juga probabilitas sekitar 20% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 100 basis poin.
Jika The Fed menaikkan 100 basis poin, maka suku bunganya akan menjadi 2,5% - 2,75%, dan selisihnya dengan suku bunga Bank Indonesia (BI) akan semakin menyempit.
Pada pekan lalu BI masih mempertahankan suku bunga acuan di rekor terendah sepanjang sejarah 3,5%.
"Rapat Dewan Gubernur Juli 2022 memutuskan mempertahankan BI 7- Day Reverse Repo rate (BI 7-DRR) pada level 3,5%," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (21/7/2022).
Sementara itu suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%. BI sudah 18 bulan mempertahankan suku bunga.
BI sudah 18 bulan mempertahankan suku bunganya.
Ketika selisih suku bunga acuan menyempit, maka yield obligasi juga akan sama. Hal ini bisa memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Indeks Dolar AS Jeblok
Indeks dolar AS sedang dalam tren menurun yang membuat rupiah mampu melesat di awal perdagangan.
Pagi ini, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini turun 0,1% ke 106,37. Dibandingkan level tertinggi dua dekade 109,29 yang dicapai pada Kamis (14/7/2022) lalu, penurunannya tercatat sekitar 2,6%.
Indeks dolar AS terus menurun padahal The Fed (bank sentral AS) akan kembali menaikkan suku bunga di pekan ini.
Beberapa indikator perekonomian Amerika Serikat mulai menunjukkan tanda-tanda pelambatan ekonomi. Pasar pun melihat Negeri Paman Sam semakin dekat dengan resesi, sebab inflasi masih terus menanjak.
Klaim tunjangan pengangguran mingguan AS yang dirilis pekan lalu naik ke level tertinggi dalam 8 bulan terakhir.
Sementara itu aktivitas bisnis mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam 2 tahun terakhir.
S&P Global pada Jumat (22/7/2022) melaporkan rilis awal purchasing managers' index (CPI) komposit Juli turun menjadi 47,5 dari sebelumnya 52,3.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya adalah ekspansi.
Aktivitas bisnis terdiri dari dua sektor, manufaktur dan jasa. Sektor manufaktur masih berekspansi sebesar 52,3, menurun dari sebelumnya 52,7 Sementara sektor jasa merosot hingga menjadi 47, dari sebelumnya 52,7.
"Rilis awal PMI Juli menunjukkan kemerosotan yang mengkhawatirkan. Jika tidak memasukkan periode lockdown akibat pandemi Covid-19, output mengalami penurunan yang paling tajam sejak 2009, saat krisis finansial global," kata Chris Williamson, S&P Global Chief Business Economist, sebagaimana dilansir Reuters Sabtu, (25/7/2022).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
