Mayoritas Bursa Asia Jeblok, Waspada IHSG Besok Fluktuatif Ya

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
25 July 2022 16:50
Investors look at computer screens showing stock information at a brokerage house in Shanghai, China September 7, 2018. REUTERS/Aly Song
Foto: Bursa China (Reuters/Aly Song)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup terkoreksi pada perdagangan Senin (25/7/2022) awal pekan ini, di mana investor cenderung wait and see sembari menanti rilis kebijakan moneter dari bank sentral Amerika Serikat (AS) pada Rabu mendatang waktu AS.

Hanya indeks KOSPI Korea Selatan yang ditutup di zona hijau pada hari ini, yakni menguat 0,44% ke posisi 2.403,69. Sedangkan sisanya terpantau memerah.

Indeks Nikkei Jepang ditutup merosot 0,77% ke 27.699,25, Hang Seng Hong Kong melemah 0,22% ke 20.562,939, Shanghai Composite China terkoreksi 0,6% ke 3.250,39, ASX 200 Australia turun tipis 0,02% menjadi 6.789,9.

Sementara untuk indeks Straits Times Singapura juga berakhir turun tipis 0,03% ke posisi 3.180,47 dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup terpangkas 0,41% menjadi 6.858,407.

Dari Singapura, inflasi pada periode Juni 2022 kembali meninggi meski Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) sudah mengetatkan kebijakannya sebanyak tiga kali.

Data dari Singapura yang dirilis siang ini menunjukkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) tumbuh 6,7% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada bulan lalu, yang merupakan level tertinggi dalam 14 tahun terakhir, tepatnya sejak September 2008.

Inflasi inti juga melesat 4,4% (yoy) dari Mei sebesar 3,6%, dan berada di level tertinggi sejak Desember 2008.

Inflasi inti merupakan acuan MAS dalam menetapkan kebijakan moneter. Semakin tinggi, maka MAS peluang MAS mengetatkan kebijakannya semakin besar.

Hal ini tentunya membuat dolar Singapura kuat. Tetapi di sisi lain, inflasi yang semakin tinggi dan kebijakan moneter yang semakin ketat, maka risiko pelambatan ekonomi semakin besar. Hal ini berdampak negatif ke dolar Singapura, dan berfluktuasi.

Untuk diketahui, di Singapura, tidak ada suku bunga acuan, kebijakannya menggunakan S$NEER (Singapore dollar nominal effective exchange rate), yang terdiri dari kemiringan (slope), lebar (width) dan titik tengah (centre).

Kebijakan moneter, apakah itu longgar atau ketat, dilakukan dengan cara menetapkan kisaran nilai dan nilai tengah dolar Singapura terhadap mata uang negara mitra dagang utama. Kisaran maupun nilai tengah itu tidak diumbar kepada publik.

MAS menaikkan slope pada Oktober 2021 dan Januari lalu, dan pada April kembali dinaikkan plus centre.

Slope berfungsi membuat penguatan/penurunan dolar Singapura lebih cepat/lambat. Ketika slope dinaikkan, maka dolar Singapura bisa menguat lebih cepat, begitu juga sebaliknya.

Kenaikan slope tersebut membuat volatilitas harian dolar Singapura menjadi meningkat.

Sementara itu dari kabar korporasi di China, The Financial Times melaporkan pada akhir pekan lalu bahwa China berencana untuk menyortir perusahaan China yang terdaftar di AS hingga menjadi tiga kelompok tergantung pada sensitivitas data yang dimiliki perusahaan.

Sistem baru ini bertujuan untuk mencegah adanya potensi delisting perusahaan China oleh regulator AS dengan membawa beberapa perusahaan mematuhi aturan AS.

Regulator sekuritas China mengatakan bahwa mereka saat ini belum memiliki sistem tiga tingkat untuk membantu perusahaan China menghindari potensi delisting di AS.

Di lain sisi, pelaku pasar di Asia-Pasifik menantikan keputusan kebijakan moneter oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan dirilis pekan ini pada 26-27 Juli 2022 waktu setempat.

Pasar memprediksikan bahwa The Fed akan kembali agresif untuk menaikkan suku bunga acuannya hingga 75-100 basis poin (bp) untuk meredam angka inflasi yang kembali melonjak. Inflasi per Juni 2022 melesat ke 9,1% dan menjadi angka inflasi terbesar sejak 4 dekade lalu.

Jika The Fed sungguh-sungguh menaikkan suku bunga acuannya pekan ini, peluang untuk terkoreksinya bursa saham AS terbuka lebar. Ditambah dengan potensi resesi karena perang Rusia-Ukraina belum usai, kian menambah tekanan terhadap aset berisiko.

Saat ini, suku bunga AS berada di 1,5-1,75%, jika The Fed kembali menaikkan suku bunga di bulan ini sebesar 75 bp maka suku bunga AS akan berada di kisaran 2,25-2,5%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular