Ganas! Libas Dolar AS, Rupiah Melesat ke Bawah Rp 15.000/US$
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah bergerak di dekat level terlemah dalam dua tahun terakhir, tetapi mampu kembali ke bawah Rp 15.000/US$. Melihat posisi tersebut, faktor teknikal membuat rupiah menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan hari ini. Selain itu, pelaku pasar juga menanti pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed).
Pada pembukaan perdagangan Senin (25/7/2022), rupiah langsung menguat 0,23% ke Rp 14.980/US$ di pasar spot.
Tanda-tanda rupiah akan menguat sudah terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih kuat pagi ini ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan Jumat pekan lalu. Tenor 1 pekan dan 1 bulan bahkan sudah di bawah Rp 15.000/US$
Periode | Kurs Jumat (22/7) pukul 15:13 WIB | Kurs Senin (25/7) pukul 8:54 WIB |
1 Pekan | Rp14.988,5 | Rp14.974,5 |
1 Bulan | Rp15.031,0 | Rp14.996,0 |
2 Bulan | Rp15.055,0 | Rp15.030,0 |
3 Bulan | Rp15.091,0 | Rp15.064,0 |
6 Bulan | Rp15.176,0 | Rp15.141,0 |
9 Bulan | Rp15.236,0 | Rp15.211,0 |
1 Tahun | Rp15.359,0 | Rp15.333,0 |
2 Tahun | Rp15.833,7 | Rp15.831,0 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Rupiah pada pekan lalu sempat menyentuh Rp 15.035/US$, level terendah sejak Mei 2020, setelah Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuannya di 3,5% pada pekan lalu. BI sudah 18 bulan menahan suku bunga di rekor terendah sepanjang masa tersebut.
Meski demikian, pelemahan rupiah tidak terlalu besar, sepanjang pekan lalu hanya 0,17% saja. Padahal, The Fed sudah sangat dan masih akan agresif dalam mengerek suku bunganya.
The Fed sejauh ini sudah 3 kali menaikkan suku bunga dengan total 150 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%. Namun, tujuannya meredam inflasi masih belum terlihat.
Headline Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada Juni masih melesat 9,1% year-on-year (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya 8,6% (yoy) dan merupakan level tertinggi dalam 41 tahun terakhir.
Pasca rilis tersebut, The Fed diprediksi akan menaikkan suku bunga hingga 100 basis poin di pekan ini.
Namun, beberapa pejabat elit The Fed mulai mengesampingkan kemungkinan kenaikan 100 basis poin pada pekan depan.
Presiden The Fed wilayah St. Louis, James Bullard mengatakan meski inflasi belum mencapai puncaknya, ia yakin di tahun 2023 akan terjadi penurunan, dan untuk saat ini ia tidak mendukung kenaikan 100 basis poin.
Bullard merupakan salah satu pejabat The Fed yang paling hawkish. Pernyataannya yang tidak mendukung kenaikan 100 basis poin menjadi 2.5% - 2,75% langsung membuat probabilitas di pasar menurun.
Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat probabilitas kenaikan 100 basis poin hanya 20%, turun jauh ketimbang dua pekan lalu yang mencapai 80%. Sementara probabilitas kenaikan sebesar 75 basis poin menjadi 2,25% - 2,5% saat ini sebesar 80%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)