
Pertama Sepanjang Tahun: Harga Minyak Brent dan WTI Beda Arah

Jakarta, CNBC Indonesia - Volatilitas dan anomali tengah menerpa harga minyak mentah dunia, di mana harga dua minyak acuan justru bergerak berlawanan arah jelang penaikan suku bunga Amerika Serikat (AS).
Pada Jumat (22/7/2022) harga kontrak berjangka minyak mentah jenis Brent yang menjadi acuan Eropa melemah 0,64% ke US$ 103,2/barel, sedangkan harga kontrak minyak acuan AS yakni West Texas Intermediate (WTI) tertekan 1,17% ke US$ 94,7/barel.
Meski secara harian kompak tertekan pada Jumat, harga keduanya bergerak berlawanan secara mingguan, di mana minyak Brent melompat 2,02% dari posisi pekan lalu US$ 101,2/barel, sedangkan WTI anjlok nyaris 3% dari pekan lalu yang dibanderol US$ 97,59/barel.
Harga minyak telah meningkat sejak tahun lalu dan mencatatkan rekor harga tertinggi tahun ini pada 8 Maret 2022 ketika Rusia menyerang Ukraina, di mana Brent menyentuh US$ 128/barel sementara WTI di US$ 123,7/barel. Namun harga minyak mentah jatuh kembali sejak akhir Mei.
Namun, pembalikan terjadi atas minyak Brent yang menjadi acuan Eropa karena wilayah tersebut terdampak langsung oleh efek embargo minyak Rusia, yang selama ini menjadi pemasok utama energi kawasan Benua Biru. Kelangkaan pasokan memicu kenaikan harga.
Di sisi lain, posisi AS masih aman karena besarnya cadangan minyak mereka sehingga embargo minyak Rusia tak banyak memukul suplai minyak di Negara Adidaya tersebut. Dus, harga minyak masih terus terkoreksi.
Kenaikan kian terjadi setelah permintaan India atas BMM naik ke rekor tertinggi pada Juni. India merupakan importir minyak asal Timur Tengah yang harganya mengacu pada Brent dan rentan dengan krisis geopolitik. Porsi impor minyak India beracuan harga Brent mencapai 62%.
Total konsumsi produk olahan berjalan naik 18% lebih dari tahun lalu dan kilang India beroperasi mendekati tingkat paling optimalnya, kata analis RBC. Di sisi penawaran, dimulainya kembali produksi di beberapa ladang minyak di Libya minggu ini membatasi kenaikan Brent.
Sementara itu Bank Sentral Eropa (ECB) menaikkan suku bunga lebih dari konsensus untuk mengendalikan inflasi. Bank sentral 19 negara yang berbagi mata uang Euro ini mengejutkan pasar dengan mendorong suku bunga acuannya naik 50 basis poin (bp), lebih tinggi dari prakiraan sebesar 25 bp.
Presiden ECB Christine Lagarde memperingatkan bahwa risiko inflasi telah meningkat dengan konflik di Ukraina kemungkinan akan berlarut-larut sehingga harga energi, terutama di Eropa, kemungkinan akan tetap tinggi dengan jangka waktu panjang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tensi Geopolitik Timur Tengah Turun, Harga Minyak Bergerak Variatif