
Menakar Langkah BI Terkait Suku Bunga Acuan, Naik atau Tetap?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah 16 bulan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan BI 7 day reverse repo rate (BI-7drr) di 3,5% dan menjadi yang terendah sepanjang sejarah. Sama seperti negara-negara lain, Indonesia kini juga dihadapkan pada permasalahan seputar kenaikan harga barang dan jasa (inflasi).
Pada bulan Juni 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan laju inflasi Indonesia naik 4,35% secara tahunan dan menjadi yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir. BI menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 20-21 Juli 2022. Pandangan ekonom tentang prospek suku bunga acuan pun terbelah.
Dari 15 ekonom yang disurvei Tim Riset CNBC Indonesia, 7 ekonom memperkirakan BI akan kembali hold sedangkan sisanya memperkirakan bank sentral nasional akan mulai menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps).
Sejauh ini BI dipandang sebagai bank sentral yang kebijakan moneternya masih paling akomodatif. Hal ini berbeda dengan negara-negara Eropa serta AS yang sudah mulai menaikkan suku bunga acuan. Di kawasan Eropa, Bank Sentral Swiss sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps). Bank of England sudah menaikkan 100 basis poin (bps).
Sementara itu bank sentral AS (The Fed) menjadi yang paling agresif dengan kenaikan 150 bps. Berbeda dengan Eropa dan AS, bank sentral kawasan Asia seperti Bank of Japan (BoJ) dan People's Bank of China (PBoC) masih enggan untuk hawkish.
Meskipun suku bunga acuan masih ditahan oleh BI, tetapi Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan dinaikkan signifikan. Pada September 2022 nanti GWM perbankan ditetapkan sebesar 9%. Kenaikan GWM dipandang sebagai langkah normalisasi likuiditas oleh ekonom.
Namun, langkah tersebut tidak mampu membendung pelemahan nilai tukar rupiah. Di sepanjang tahun ini rupiah sudah melemah 5% terhadap dolar AS.
Memang, pelemahan rupiah masih lebih terbatas dibandingkan dengan negara-negara lain. Namun, pelemahan ini sebenarnya cukup membayangi pergerakan harga aset berisiko seperti saham.
Tirta Citradi, ekonom MNC Sekuritas menjadi salah satu yang memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan bulan ini. "Kalau the Fed naikkan suku bunga 75 basis poin lagi dan BI hold, maka selisih suku bunga nominal AS dan Indonesia akan menyempit, perbedaan spread yang semakin sempit ini bisa membawa tekanan ke nilai tukar" ungkap Tirta saat dihubungi CNBC Indonesia.
Lebih lanjut, nilai tukar menjadi faktor penting dalam berinvestasi terutama untuk asing. Dengan rupiah yang terus melemah maka currency risk meningkat dan risk appetite untuk masuk ke aset-aset keuangan domestik seperti saham menjadi berkurang.
Kalau dilihat, IHSG masih memberikan imbal hasil positif sepanjang tahun ini. Namun, pelemahan rupiah masih membayangi dan membuat return IHSG tergerus.
Di sepanjang bulan Juli ini, IHSG juga masih terjebak di kisaran 6.600-6.800. Padahal sebelumnya IHSG sempat berada di kisaran 7.000-an, bahkan lebih tinggi.
Bagaimanapun juga keputusan BI hari ini akan menjadi sentimen yang turut menggerakkan pasar. Sampai saat ini nilai tukar rupiah masih betah di dekat Rp 15.000/US$. Jika rupiah lanjut melemah dan outflow terjadi di pasar saham, maka IHSG juga bisa ikut tertekan.
(trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article IHSG Menguat Tipis Kala BI Pangkas Suku Bunga Jadi 6%