China "Buang" Obligasi Amerika, Negara Ini Borong Rp 2.500 T
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak perang dagang dimulai awal 2018 lalu, China secara konsisten mengurangi kepemilikan obligasi Amerika Serikat (Treasury). Aksi "buang" tersebut semakin getol dilakukan dalam satu tahun terakhir.
Data dari Departemen Keuangan Amerika Serikat (AS) menunjukkan pada Mei China melepas Treasury senilai US$ 23 miliar atau sekitar Rp 345 miliar (kurs RP 15.000/US$).
Untuk pertama kalinya dalam 12 tahun terakhir, kepemilikan Treasury China berada di bawah US$ 1 triliun.
Jika dibandingkan dengan Mei 2021, nilai Treasury tersebut menyusut US$ 100 miliar atau sekitar 9%. Jika dirupiahkan dengan kurs Rp 15.000/US$, dalam setahun China "membuang" Treasury senilai Rp 1.500 triliun.
Bahkan jika dilihat sejak awal perang dagang, nilainya sudah dua kali lipat. Di akhir 2017, tercatat China memiliki Treasury sebesar US$ 1,18 triliun, naik US$ 126,5 miliar dari akhir 2016.
Kepemilikannya saat ini sebesar US$ 980 miliar, dibandingkan akhir 2017 US$ 1,18 triliun, artinya berkurang US$ 200 miliar atau Rp 3.000 triliun dalam waktu 5,5 tahun.
Berbeda dengan China, Inggris justru memborong Treasury dalam satu tahun terakhir. Data dari Departemen Keuangan AS menunjukkan pada Mei Inggris memiliki Treasury senilai US$ 634 miliar, naik US$ 21,3 miliar atau Rp 470 triliun dari bulan sebelumnya.
Sementara jika dibandingkan dengan Mei 2021 US$ 467,5, Treasury yang dimiliki Inggris bertambah hingga US$ 166,4 miliar atau nyaris Rp 2.500 triliun dalam waktu satu tahun. Inggris menjadi pemegang Treasury terbesar ketiga di dunia, di bawah Jepang dan China.
Amerika Serikat dan Inggris memang sekutu dekat, berbeda dengan China yang hubungannya panas-dingin.
Perang dagang yang dikobarkan ke China oleh Presiden AS ke-45 Donald Trump menjadi pemicu awal dilepasnya Treasury.
China semakin agresif melepas kepemilikan Treasury di tahun ini setelah bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga dengan sangat agresif guna meredam kenaikan inflasi.
Kenaikan suku bunga yang agresif, maka imbal hasil (yield) Treasury jadi ikut menanjak. Pada pertengahan Juni lalu, yield Treasury tenor 10 tahun bahkan sempat menyentuh 3,5% tertinggi sejak April 2011.
Ketika yield Treasury menanjak, artinya harga obligasi mengalami penurunan. Hal ini membuat pemegang Treasury mengalami capital loss. China pun semakin agresif "membuang" Treasury.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)