
Ingat! Meski Buang Obligasi AS, China Masih Punya Rp 14.663 T

Jakarta, CNBC Indonesia - China terus mengurangi kepemilikan obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) dengan menjual ke pasar dalam jumah ribuatn triliun. Meski sudah menjual banyak, kepemilikan obligasi AS oleh China tetap besar dengan nilai yang tak lagi di atas US$ 1 triliun.
Berdasarkan data dari Departemen Keuangan AS (Department of the Treasury) Per Mei lalu, China memiliki obligasi pemerintah AS (US Treasury) sebesar US$ 980,8 miliar atau setara dengan Rp 14.663 triliun (asumsi kurs Rp 14.950/US$), nyaris Rp 15.000 triliun.
Angka itu turun sekitar US$ 23 miliar dari bulan sebelumnya dan hampir US$ 100 miliar atau 9% dibandingkan Mei 2021. Atau dalam 1 tahun, China sudah "membuang" Treasury sekitar Rp 1.500 triliun (kurs Rp 15.000/US$).
Hal ini menjadikan pertama kalinya sejak Mei 2010, di mana kepemilikan China di Treasury AS turun di bawah angka US$ 1 triliun.
Dengan ini, maka Negeri Paman Sam masih berhutang sebesar Rp 15.000 triliun kepada China. China merupakan salah satu negara yang memiliki obligasi pemerintah AS (Treasury) paling besar, di mana China menjadi terbesar kedua di dunia setelah Jepang.
Aksi China melepas Treasury sudah dimulai dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak AS mengobarkan perang dagang saat dipimpin Presiden ke-45 Donald Trump. Sejak saat itu, kepemilikan Treasury China terus mengalami penurunan.
Adapun sejak era Trump berkuasa atau sejak akhir 2017 hingga Mei lalu, China sudah melepas Treasury hingga mencapai US$ 201 miliar atau sekitar Rp 3.000 triliun. Pada akhir 2017, kepemilikan China di Treasury mencapai US$ 1,18 triliun.
China semakin agresif melepas kepemilikan Treasury AS di tahun ini setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga dengan sangat agresif guna meredam kenaikan inflasi.
Pada semester I-2022, suku bunga dinaikkan sebanyak 3 kali dengan total 150 basis poin (bp) menjadi 1,5% - 1,75%.
Ketua The Fed, Jerome Powell bahkan terang-terangan mengatakan akan menaikkan lagi sebesar 50 - 75 basis poin di bulan ini.
Bahkan, dengan inflasi yang meroket ke 9,1% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Juni lalu, pasar melihat The Fed berpeluang menaikkan suku bunga sebesar 100 basis poin (bp).
Sejatinya, perang dagang yang dimulai pada awal 2018 menjadi awal retaknya hubungan China dengan AS. Semenjak saat itu, China gencar melalukan dedolarisasi dan getol mendorong internasionalisasi yuan.
Adapun salah satu cara China melakukan dedolarisasi dengan mengurangi kepemilikan Treasury AS dan semakin agresif dilakukan belakangan ini.
Sebelum tergeser menjadi terbesar kedua saat ini setelah Jepang, China sempat menjadi pemegang Treasury paling besar, sebelum terjadinya perang dagang atau Trump menjabat.
Namun, setelah Trump menjabat dan mengobarkan perang dagang sejak awal 2018. Hubungan kedua negara pun memburuk dan pada akhirnya China mulai mengurangi kepemilikan Treasury.
Bukan tanpa alasan, jika China melepas Treasury dengan agresif maka perekonomian AS akan mendapat masalah besar.
Ketika Treasury yang dimiliki "dibuang" dalam jumlah yang besar, maka kurs dolar AS bisa jeblok, harga Treasury akan merosot dan imbal hasil (yield) melesat naik, suku bunga juga akan terkerek naik, pada akhirnya ekonomi AS akan merosot.
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ukraina Mau Ngutang Buat Bayarin Perang