Sentimen Pasar Pekan Depan

Sederet Isu yang Membuat Pasar Keuangan Grogi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 July 2022 07:40
Ilustrasi Bursa (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu resesi lagi-lagi membuat pasar finansial Indonesia tertekan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot 1,3% ke 6.651,905 dan mencatat penurunan 3 pekan beruntun.

Rupiah bahkan sudah 6 minggu tak pernah menguat, meski di pekan ini pelemahannya hanya 0,1% saja di Rp 14.990/US$.

Sementara dari pasar obligasi, mayoritas Surat Berharga Negara (SBN) mengalami pelemahan. Hanya SBN tenor 15 dan 25 tahun yang mengalami penguatan, terlihat dari penurunan imbal hasil (yield) meski tipis saja.

Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika yield turun artinya harga mengalami kenaikan.

Isu resesi, khususnya di Amerika Serikat (AS) semakin menguat di pekan ini setelah inflasinya kembali meroket.

Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja AS, inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) meroket 9,1% year-on-year (yoy) pada Juni, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 8,6% dan ekspektasi Dow Jones 8,8%.

Bank sentral AS (The Fed) di bawah pimpinan Jerome Powell berencana menaikkan suku bunga 50 - 75 basis poin di bulan ini. Namun, pasar kini melihat bank sentral paling powerful di dunia ini akan menaikkan 100 basis poin menjadi 2,5% - 2,75%.

Semakin tinggi suku bunga dinaikkan maka resesi akan semakin cepat terjadi.

Di pekan ini, perhatian utama tertuju pada Bank Indonesia (BI) yang akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Kamis (21/7/2022). Baik IHSG, rupiah dan SBN masih akan bergerak volatile

Pasar akan melihat apakah BI akan masih akan mempertahankan suku bunganya di rekor terendah 3,5%. Jika masih dipertahankan, maka selisih suku bunga dengan The Fed akan semakin menyempit, ada risiko capital outflow yang terjadi di pasar obligasi akan semakin besar.

Sementara jika dinaikkan, maka akan meningkatkan daya tarik SBN, dan mendongkrak nilai tukar rupiah. Tetapi, risikonya laju pertumbuhan ekonomi akan melambat.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Inflasi Eropa Jadi Perhatian

Selain pengumuman hasil RDG BI, inflasi di Eropa juga akan menjadi perhatian pelaku pasar. Semakin tinggi inflasi, maka risiko resesi semakin membesar.

Berdasarkan data awal Inflasi di zona euro pada bulan Juni tercatat melesat 8,1% (yoy) yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa. Data final inflasi di blok 19 negara tersebut akan drilis pada Selasa (19/7/2022) dan diperkirakan akan lebih tinggi lagi menjadi 8,6% (yoy), berdasarkan konsensus Trading Economics.

Dengan inflasi yang semakin tinggi, ada kemungkinan bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga. Risiko resesi pun semakin membesar.

ECB pada bulan lalu sudah terang-terangan menyatakan akan menaikkan suku bunga pada bulan ini.

Sementara itu Inggris juga akan melaporkan data inflasi Juni. Konsensus Trading Economics memperkirakan inflasi akan naik lagi menjadi 9,2% (yoy) dari sebelumnya 9,1% (yoy) yang merupakan level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) sejak akhir tahun lalu sudah 5 kali menaikkan suku bunga. Artinya, kenaikan suku bunga belum mampu meredam inflasi, dan BoE bisa lebih agresif lagi.

"Kami akan merespon apa pun yang terjadi, tetapi kami ingin masyarakat mengerti kami tidak akan membiarkan inflasi lepas kendali seperti yang terjadi pada tahun 1970an dan 1980an," kata Dave Ramsden, Deputi Gubernur BoE, sebagaimana dilansir Reuters Kamis (14/7/2022).

Semakin tinggi suku bunga, maka resesi akan semakin cepat terjadi, dan bisa berdampak negatif ke pasar finansial.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mei tidak Berakhir Horor, IHSG-Rupiah Siap Ngegas Awal Juni?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular