
Tunggu BI Pekan Depan, Rupiah Masih di Bawah Rp 15.000/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sempat menguat cukup tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (15/7/2022). Sayangnya penguatan gagal dipertahankan, rupiah berakhir stagnan.
Sama dengan posisi akhirnya, rupiah juga membuka perdagangan hari ini dengan stagnan di Rp 14.990/US$, melansir data Refinitiv. Setelahnya rupiah sempat menguat 0,21% ke Rp 14.960/US$.
Penguatan tersebut hanya sesaat, rupiah kemudian kembali ke Rp 14.990/US$ dan terpaku hingga penutupan perdagangan.
Penguatan rupiah di awal perdagangan terjadi setelah rilis data surplus neraca perdagangan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia yang kembali surplus pada Juni 2022. Artinya surplus sudah mencapai 26 bulan beruntun.
Nilai ekspor US$ 26,09 miliar, naik 40,68% dibandingkan tahun lalu atau year on year (yoy) dan 21,30% secara month on month (mom).
Sementara impor mencapai US$ 21 miliar. Sehingga surplus kembali terjadi dengan besaran kali ini US$ 5 miliar.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Juni akan mencapai US$ 3,42 miliar. Surplus tersebut melonjak dibandingkan yang tercatat pada Mei yakni US$ 2,89 miliar.
Surplus bisa membuat transaksi berjalan kembali surplus di kuartal II-2022, yang memberikan sentimen positif ke rupiah.
Meski demikian, rupiah masih sulit menguat sebab pasar kini menanti Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pekan depan. Pasar akan melihat apakah Gubernur BI Perry Warjiyo dan kolega masih akan mempertahankan suku bunga, atau akhirnya dinaikkan.
Sebab, pasar kini melihat bank sentral AS (The Fed) akan mengerek suku bunganya hingga 100 basis poin dua pekan mendatang. Kenaikan tersebut lebih besar dari proyeksi sebelumnya 75 basis poin.
The Fed yang semakin agresif tidak lepas dari inflasi yang masih terus menanjak padahal suku bunga sudah dinaikkan sebanyak tiga kali dengan total 150 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS tembus 9,1% (yoy) di bulan Juni, tertinggi dalam 41 tahun terakhir. Inflasi yang semakin tinggi dan The Fed yang semakin agresif tentunya berisiko membawa perekonomian AS ke jurang resesi semakin cepat.
Meski demikian, dolar AS yang menyandang status safe haven akan lebih diuntungkan ketimbang rupiah saat resesi terjadi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Ngeri! 3 Hari Melesat 3% ke Level Terkuat 3 Bulan
