Siapa Terdampak Langsung Pelemahan Rupiah? Ini Jawabannya

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
15 July 2022 13:44
Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah hingga kini masih mencatatkan pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah bahkan makin mendekati Rp 15.000/US$.

Melansir Refinitiv, begitu perdagangan dibuka rupiah tertahan di Rp 14.990/US$ hingga pada pukul 11:00 WIB. Dolar AS yang masih perkasa membuat rupiah makin terpuruk.

Indeks dolar AS pada perdagangan Kamis kemarin sempat menyentuh posisi 109,29 dan menjadi posisi tertinggi sejak September 2002, tapi kemudian memangkas penguatannya dan berakhir di 108,5.

Pukul 11:00 WIB, indeks dolar AS kembali menunjukkan keperkasaanya, menguat 0,02% ke 108,56 terhadap 6 mata uang dunia lainnya. Di sepanjang pekan ini, indeks dolar AS telah menguat 1,58% dan berada pada jalurnya untuk pekan ketiga penguatannya.

Bagi emiten yang pendapatannya dalam dolar AS dan berorientasi ekspor seperti di sektor komoditas, pelemahan rupiah akan memberikan keuntungan.

Namun, bagi emiten yang memiliki kewajiban dalam mata uang asing terutama dolar AS dalam jumlah yang besar di neracanya (balance sheet), tentu akan menyangga beban berat.

Sebenarnya bukan hanya dari sisi seberapa besar tanggungan perusahaan dalam dolar AS, tetapi juga seberapa lama mata uang Indonesia akan terus melemah serta seberapa dalam koreksinya turut menentukan besarnya risiko yang ditanggung oleh emiten.

Sejatinya, risiko volatilitas nilai tukar yang dapat mempengaruhi kinerja bisnis emiten bisa dimitigasi melalui lindung nilai (hedging) sesuai yang diimbau oleh Bank Indonesia (BI).

Hedging dilakukan agar neraca keuangan tetap kuat bagi emiten dengan eksposur ke utang luar negeri. Di sisi lain bagi mereka emiten-emiten yang memiliki eksposur terhadap impor barang untuk bahan baku juga bisa disiasati dengan mengamankan pasokan terlebih dahulu jauh-jauh hari.

Untuk sekedar informasi, ada beberapa sektor yang sensitif terhadap pelemahan nilai tukar rupiah karena karakteristik industrinya.

Pertama adalah sektor farmasi. Sektor ini cenderung mengandalkan bahan baku impor karena memang bahan baku tersebut tidak tersedia dari dalam negeri lantaran industri pendukung yang belum memadai.

Pelemahan rupiah yang berkepanjangan akan berdampak pada biaya produksi yang meningkat dan menjadi ancaman bagi marjin laba. Adapun salah satu sektor yang terpengaruh dari terus melemahnya rupiah adalah sektor farmasi.

Emiten farmasi yang melantai di BEI ada yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Indonesia Farma Tbk (INAF) dan PT Kimia Farma Tbk (KAEF) dan anak usahanya PT Phapros Tbk (PEHA). Kemudian dari swasta ada PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), dan beberapa lainnya.

Selain sektor farmasi, sektor ritel seperti PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI), PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES), dan PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA) juga dirugikan dengan adanya pelemahan rupiah ini karena produk yang dijual ketiga emiten tersebut merupakan produk impor.

Sementara itu, emiten yang juga memiliki paparan risiko terhadap dolar AS dari sisi neraca keuangan karena memiliki kewajiban berupa obligasi valuta asing (valas) berdenominasi dolar AS adalah saham-saham bank pelat merah.

Bank pelat merah seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga memiliki kewajiban berupa obligasi berdenominasi dolar AS.

Selain bank, ada juga perusahaan yang bergerak di sektor gas yaitu PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) yang juga memiliki obligasi berdenominasi dolar AS. Di sektor telekomunikasi juga ada emiten menara PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) yang memiliki obligasi dengan denominasi valas.

Ada juga emiten konsumer yakni PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) yang menerbitkan global bond senilai US$ 1 miliar. Kemudian ada emiten energi yakni PT Medco Energi Internasional (MEDC) yang menerbitkan global bond senilai US$ 400 juta.

Ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus merosot, maka beban pembayaran obligasi tersebut akan semakin membengkak. Dus, pelemahan rupiah memang akan berdampak pada kinerja keuangan emiten.

Namun sebagai seorang investor, patut juga untuk menelaah lebih jauh bagaimana strategi perusahaan atau emiten tersebut untuk memitigasi risiko yang dihadapi karena tentunya setiap emiten akan menjalankan fungsi planning dan risk management agar tetap mencatatkan kinerja yang solid.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Manufaktur China Masih Kontraksi, Rupiah Dibuka Melemah Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular