Neraca Dagang RI Juara, IHSG Sesi I Menguat! Balik ke 6.700
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir menguat pada penutupan perdagangan sesi I Jumat (15/7/2022) pasca Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 5 miliar pada Juni 2022.
IHSG dibuka melemah tipis 0,05% di posisi 6.686,55 dan berakhir di zona hijau dengan apresiasi 0,24% atau 16,37 poin ke 6.706,46 pada penutupan perdagangan sesi pertama pukul 11:30 WIB. Nilai perdagangan tercatat naik ke Rp 7,2 triliun dengan melibatkan lebih dari 11 miliar saham.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), sejak perdagangan dibuka IHSG berada di zona merah. Namun pukul 09:30 WIB IHSG terpantau berbalik arah ke zona hijau dan konsisten menguat hingga penutupan perdagangan sesi pertama.
Level tertinggi berada di 6.716,95 pukul 10:00 WIB dan level terendah berada di 6.658,47 sesaat setelah perdagangan dibuka. Mayoritas saham siang ini melemah yakni sebanyak 255 unit, sedangkan 211 unit lainnya menguat dan 196 sisanya stagnan.
Menguatnya indeks Tanah Air dipicu oleh sentimen positif dari dalam negeri. Di tengah isu resesi yang menggebu, Indonesia kembali melanjutkan tren positif pada sisi ekspor dan impor. Neraca perdagangan Indonesia selama semester I-2022 berhasil mencapai US$ 24,89 miliar.
Capaian positif ini disebabkan oleh durian runtuh atau lonjakan harga komoditas internasional dalam beberapa tahun terakhir. Khususnya pada ekspor andalan Indonesia seperti batu bara, bauksit, nikel, tembaga hingga minyak kelapa sawit.
Surplus neraca dagang diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional di tengah ancaman resesi. Khususnya pada kuartal II-2022.
Kinerja Wall Street yang berguguran masih berpotensi menular ke pasar keuangan Tanah Air. Risiko penurunan saham dan inflasi tinggi semakin terasa sehingga isu resesi dunia masih dominan di kalangan pelaku pasar.
Bagaimanapun juga laju inflasi yang tinggi disertai dengan kebijakan moneter yang agresif telah membuat pasar keuangan global bergejolak di sepanjang tahun ini.
Ekonomi AS tengah berada di ambang resesi. Sebagai negara perekonomian terbesar di dunia, kondisi krisis ini dapat menular ke negara lain.
Indeks Harga Konsumen (IHK) AS per Juni melesat 9,1% secara tahunan (year on year/yoy) atau jauh melampaui ekspektasi pasar dalam polling Dow Jones yang sebesar 8,8%. Angka tersebut lebih tinggi ketimbang inflasi bulan sebelumnya di 8,6% dan menjadi rekor inflasi tertinggi dalam 41 tahun terakhir.
Rilis data IHK tersebut akan mendorong bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 75 basis poin (bp) di pertemuan selanjutnya. Padahal, bulan lalu, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya 75 bp (terbesar sejak 1994) ke 1,5-1,75%.
Untuk diketahui, sebelum rilis data inflasi, mayoritas pelaku pasar masih memperkirakan the Fed bakal mengerek Fed Funds Rate/FFR (suku bunga acuan AS) sebesar 75 bps.
Namun setelah rilis data inflasi tersebut pelaku pasar memperkirakan ada peluang sebesar 51,1% Fed bakal lebih agresif dengan menaikkan FFR sebesar 100 bps, jika mengacu pada CME FedWatch.
Dari sisi lain mantan bos The Fed menyebut bahwa pengetatan moneter yang agresif juga akan berdampak pada perekonomian AS. Semakin tingginya risiko resesi AS dan perlambatan ekonomi global akibat perang Rusia-Ukraina dan inflasi masih menjadi sentimen utama penggerak pasar dalam waktu dekat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/vap)