
Rupiah Kuat di Bawah Rp 15.000/US$, Kok Bisa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah berfluktuasi melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada awal perdagangan Jumat (15/7/2022) meski dalam rentang yang sempit. Perhatian hari ini tertuju pada rilis data neraca perdagangan Indonesia. Maklum saja, surplus sudah dicatat dalam 25 bulan beruntun, dan mampu mendorong transaksi berjalan juga surplus.
Hal tersebut membuat pasokan devisa ke dalam negeri menjadi besar dan menjaga stabilitas rupiah. Terbukti rupiah saat ini masih mampu bertahan di bawah Rp 15.000/US$, meski bank sentral AS (The Fed) diperkirakan akan menaikkan suku bunga 100 basis poin bulan ini.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.990/US$. Setelahnya rupiah berfluktuasi di rentang Rp 14.979 - Rp 14.995/US$ hingga pukul 9:06 WIB.
Meski demikian, melihat pergerakan di pasar non-deliverable forward (NDF) di semua tenor yang masih di atas Rp 15.000/US$ pagi ini, rupiah tentunya berisiko melemah.
Periode | Kurs Kamis (14/7) pukul 15:17 WIB | Kurs Jumat (15/7) pukul 8:58 WIB |
1 Pekan | Rp15.090,6 | Rp15.071,1 |
1 Bulan | Rp15.157,3 | Rp15.104,9 |
2 Bulan | Rp15.206,5 | Rp15.147,0 |
3 Bulan | Rp15.208,8 | Rp15.168,6 |
6 Bulan | Rp15.293,0 | Rp15.233,5 |
9 Bulan | Rp15.353,7 | Rp15.291,2 |
1 Tahun | Rp15.433,2 | Rp15.388,6 |
2 Tahun | Rp15.770,3 | Rp15.733,7 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Rupiah yang masih mampu bertahan di bawah Rp 15.000/US$ kemungkinan juga karena ada intervensi dari Bank Indonesia (BI) untuk menjaga stabilitas rupiah.
Seperti diketahui BI memiliki kebijakan triple intervention, yakni intervensi di pasar spot, domestic NDF, dan pasar SBN guna menjaga stabilitas rupiah.
Sementara itu konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Juni akan mencapai US$ 3,42 miliar. Surplus tersebut melonjak dibandingkan yang tercatat pada Mei yakni US$ 2,89 miliar.
Artinya, neraca perdagangan akan surplus 26 bulan beruntun.
Konsensus juga menunjukkan bahwa ekspor akan tumbuh 33,8% (year on year/yoy) sementara impor meningkat 22%.
Sebagai catatan, pada Mei lalu, nilai ekspor Indonesia mencapai US$ 21,51 miliar atau naik 27% (yoy) tetapi anjlok 21,29% dibandingkan bulan sebelumnya. Impor mencapai US$ 18,61 miliar, naik 30,74% (yoy) tetapi melemah 5,81% dibandingkan bulan sebelumnya.
Surplus neraca perdagangan yang melebar pada Juni sudah tercermin dalam cadangan devisa. Bank Indonesia melaporkan posisi cadangan devisa pada akhir Juni 2022 sebesar US$ 136,4 miliar, lebih besar dibandingkan yang tercatat pada Mei (US$ 135,6 miliar).
"Peningkatan neraca perdagangan ini didorong oleh peningkatan ekspor. Peningkatan ekspor yang lebih tinggi didorong oleh peningkatan volume ekspor CPO setelah pada bulan Mei terjadi pelarangan ekspor CPO," tutur ekonom Bank Permata Josua Pardede, kepada CNBC Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
