Menkeu AS Bicara Soal Bunga The Fed, Simak!
Bali, CNBC Indonesia - Kemarin malam waktu Indonesia, US Bureau of Labor Statistics mengumumkan data inflasi Amerika Serikat (AS). Pada Juni 2022, Negeri Paman Sam mencatat inflasi 9,1% year-on-year (yoy). Ini menjadi rekor tertinggi sejak 1981.
Perkembangan ini membuat pasar semakin yakin bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) bakal semakin agresif dalam mengetatkan kebijakan moneter. Dalam rapat bulan ini, Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) diperkirakan menaikkan suku bunga acuan hingga 100 basis poin (bps) ke 2,5-2,75%. Mengutip CME FedWatch, peluang ke arah sana mencapai 86,9%.
AS adalah perekonomian terbesar dunia, apa yang terjadi sana akan mempengaruhi seluruh negara. Tidak terkecuali kebijakan suku bunga. Jika suku bunga di Negeri Adidaya naik, maka ada risiko arus modal meninggalkan negara berkembang dan berkerumun di AS demi mendapatkan cuan.
Janet Yellen, Menteri Keuangan AS, sedang melawat ke Bali untuk menghadiri rangkaian acara G20. Di sana, eks Ketua The Fed itu memaparkan bagaimana inflasi telah 'merusak' tatanan ekonomi dunia.
Menurut Yellen, lonjakan inflasi disebabkan oleh kenaikan harga komoditas akibat perang Rusia-Ukraina. "Akibat perang di Ukraina, harga komoditas energi dan pangan menjadi lebih mahal. Ini membuat negara-negara yang sudah kesulitan bertambah susah, akibat kerawanan pangan," tegasnya, Kamis (14/7/2022).
Laju inflasi yang sangat cepat itu, lanjut Yellen, wajar kalau disikapi dengan kenaikan suku bunga acuan. Akibatnya, nilai tukar dolar AS menguat karena derasnya arus modal yang mengalir ke Negeri Stars and Stripes.
"Kenaikan (suku bunga acuan) akan menyebabkan apresiasi dolar AS sehingga mata uang lain, baik di negara maju maupun berkembang, melemah. Dampak terhadap masing-masing negara akan berbeda," katanya.
Depresiasi mata uang, tambah Yellen, di satu sisi bisa meningkatkan daya saing ekspor suatu negara. Ini karena produk negara tersebut akan lebih murah di pasar internasional. "Sejumlah negara berkembang adalah eksportir komoditas, dan negara-negara ini diuntungkan oleh tingginya harga komoditas," katanya.
Namun di sisi lain, menurut Yellen, pelemahan mata uang akan membuat utang luar negeri sebuah negara membengkak. "Ini membuat situasi semakin sulit," ujarnya.
(aji/aji)