Internasional

Biden 'Kopdar' ke Negeri Raja Salman, Harga Minyak Turun?

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
14 July 2022 15:50
Presiden AS Joe Biden tiba di Gedung Putih pada 18 Mei 2022 di Washington, DC. (Getty Images/Win McNamee)
Foto: Presiden AS Joe Biden tiba di Gedung Putih pada 18 Mei 2022 di Washington, DC. (Getty Images/Win McNamee)

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden bertolak ke Timur Tengah dan dijadwalkan akan mengunjungi Arab Saudi pada Jumat (15/7/2022). Kunjungan Biden adalah untuk mendiskusikan berbagai permasalahan mulai dari keamanan hingga reorientasi kebijakan dengan Kerajaan.

Namun, berbagai pihak telah berspekulasi mengenai kunjungan Biden ke Negeri Raja Salman untuk menyelamatkan hubungan kedua negara tersebut dan juga untuk mengamankan bantuan minyak untuk meringankan beban yang dipikul AS karena harga minyak dunia melesat. Melonjaknya harga minyak mentah dunia memicu kenaikan pada harga bahan bakar di berbagai negara, tidak terkecuali AS.

Kabar teranyar dari negeri Paman Sam, Biro Statistik Tenaga Kerja AS melaporkan angka inflasi pada Juni 2022 kembali menyentuh rekor tertinggi sejak 1981 di 9,1% secara year-on-year (yoy).

Melonjaknya angka inflasi tersebut dipicu oleh harga bahan bakar yang melambung tinggi hingga US$ 5 per galon (sekitar 4,5 liter). Akibatnya, Indeks Harga Konsumen (IHK) melonjak, bahkan secara basis bulanan IHK utama naik 1,3% dan IHK inti naik 0,7%.

Sejak perang Rusia dan Ukraina mulai pada 24 Februari, harga minyak mentah dunia telah melesat di sekitar level US$100/barel karena sekutu Barat melarang minyak Rusia sehingga membatasi pasokan minyak global dan menaikkan harga.

Beberapa waktu lalu, kelompok negara produsen minyak yang tergabung dalam OPEC sepakat untuk menaikkan produksi minyak mentah dari 400.000 barel per hari menjadi 648.000 barel per hari di Juli dan Agustus. Sayangnya, mereka gagal untuk memenuhi kuota tersebut.

Di tengah kemelut menipisnya persediaan minyak mentah, Arab Saudi dinilai dapat meningkatkan produksinya sebagai salah satu solusi paling efektif saat ini.

Arab Saudi merupakan negara kedua terbesar sebagai produsen minyak mentah setelah AS, di mana berkontribusi sebanyak 11% total produksi minyak mentah dunia, jika mengacu pada data Administrasi Informasi Energi AS tahun 2021.

Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan bersikeras bahwa ruang lingkup perjalanan itu jauh lebih luas daripada misi sederhana untuk meningkatkan produksi minyak. Mereka mengatakan bahwa pihaknya hanya akan menyampaikan pandangan umumnya bahwa perlu ada pasokan yang memadai di pasar dunia untuk melindungi ekonomi global dari 'badai inflasi' yang berkelanjutan.

Bahkan, Biden menulis artikel op-ed di The Washington Post, beberapa hari sebelum keberangkatannya ke Timur Tengah. Biden mengatakan bahwa integrasi Timur Tengah akan menguntungkan banyak pihak termasuk masyarakat AS karena sumber daya energinya dapat mengurangi dampak perang Rusia-Ukraina yang menghambat pasokan global.

Pertanyaan yang timbul selanjutnya yaitu, apakah harga minyak dunia akan turun? Simak prediksi analis di halaman selanjutnya.

Pada Rabu (13/7), harga minyak mentah jenis brent maupun West Texas Intermediate (WTI) diperdagangkan di bawah level US$100/barel. Sedangkan, harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) juga ditutup ambles 8,6% ke US$ 848,25/ton dan menjadi posisi terendah sejak 1 Juli 2021.

Terkoreksinya harga minyak mentah dunia dan CPO disebabkan potensi menurunnya permintaan dari konsumen utama minyak dunia yakni China. China sudah menemukan kasus positif Covid-19 varian Omicron dengan sub-varian baru yang lebih menular. Ini bisa membuat pemerintah kembali melakukan tes massal dan kemudian berujung ke lockdown.

Rencana kunjungan Biden ke Arab Saudi pada Jumat (15/7), nyatanya belum berpengaruh secara signifikan terhadap harga kedua komoditas utama dunia tersebut.

Menurut Direktur Enverus Intelligence Research Bill Farren Price bahwa kunjungan Biden ke Timur Tengah tidak akan menghasilkan pasokan minyak mentah tambahan secara signifikan dalam periode yang singkat.

Dia menilai bahwa hasil yang lebih mungkin yakni jika pembicaraan berjalan dengan baik, Arab Saudi mungkin akan berkomitmen untuk meningkatkan pasokan dalam jangka menengah.

Sementara itu, Ben Cahill, Senior Analis Center for Strategic and International Studies menilai bahwa Arab Saudi dan United Arab Emirates (UAE) memiliki persediaan cadangan minyak mentah yang terbatas. Setelah kesepakatan OPEC , 'negara minyak' tersebut mempunyai target produksi sebanyak 11 juta barel per hari di Agustus. Namun, mengacu pada sejarah produksinya, Arab Saudi jarang mencapai level tersebut. Jadi tidak pasti bahwa mereka mampu memompa 11 juta barel per hari atau lebih secara berkelanjutan.

Jika mengacu pada Administrasi Informasi Energi AS, Arab Saudi pernah memproduksi minyak mentah pada 2020 tapi hanya pada periode sebulan saja.

Maka dari itu, kesepakatan antara AS dan Arab Saudi tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kedua komoditas tersebut dalam periode jangka pendek. Sebab Arab Saudi tentunya membutuhkan waktu untuk memompa produksi minyaknya hingga mendistribusikan kepada negara-negara lain secara merata. Ketika distribusinya merata, baru harga minyak dunia akan mulai turun ke posisi normal.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aaf/aaf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tekan Harga BBM & Inflasi, AS Lepas Cadangan Minyak Strategis

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular