
Terpleset di Akhir Perdagangan, Rupiah Batal Menguat!

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah berfluktuasi melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (13/7/2022). Sejak awal perdagangan rupiah sebenarnya menguat, tetapi menjelang akhir perdagangan rupiah justru berakhir stagnan.
Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung menguat 0,1% ke Rp 14.970/US$. Penguatan kemudian bertambah menjadi 0,18% ke Rp 14.958/US$. Sayangnya level tersebut menjadi yang terkuat, setelahnya penguatan justru terpangkas hingga akhirnya berbalik melemah 0,05% ke Rp 14.993/US$.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.985/US$, sama persis dengan penutupan perdagangan Selasa kemarin.
Perhatian hari ini tertuju pada rilis data inflasi berdasarkan Consumer Price Index (CPI) Amerika Serikat. Seperti diketahui inflasi menjadi momok bagi banyak negara yang bisa menggerus daya beli masyarakat, hingga membawa perekonomian ke jurang resesi.
Hasil survei Reuters menunjukkan inflasi AS pada Juni diperkirakan tumbuh 8,8% year-on-year (yoy), lebih tinggi dari Mei 8,6% (yoy) yang merupakan level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Pelaku pasar melihat puncak inflasi akan terjadi di Juni, dan setelahnya akan melandai. Dengan inflasi yang semakin menanjak, maka bisa dipastikan bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga 75 basis poin bulan ini.
Sebelumnya, data tenaga kerja AS juga sudah mendukung untuk kenaikan agresif tersebut. Departemen Tenaga Kerja AS Jumat pekan lalu melaporkan sepanjang bulan Juni perekonomian mampu menyerap 372.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP), jauh lebih tinggi dari estimasi Dow Jones sebesar 250.000 tenaga kerja.
Sementara itu tingkat pengangguran tetap 3,6%, dan rata-rata upah per jam naik 5,2% year-on-year (yoy), juga lebih tinggi dari estimasi Dow Jones 5% (yoy).
Dengan kuatnya pasar tenaga kerja, bank sentral AS (The Fed) diperkirakan akan kembali mengerek suku bunga 75 basis poin di bulan ini.
"Kenaikan rata-rata upah memberikan arti The Fed akan semakin agresif dalam beberapa bulan ke depan," kata Andrew Hunter, ekonom senior di Capital Economics, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (8/7/2022).
Tekanan inflasi juga menjadi kunci apakah Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga. Hal tersebut disampaikan Deputi Gubernur Juda Agung dalam diskusi bertema 'Central Bank Policy Mix for Stability and Economic Recovery' yang merupakan rangkaian Pertemuan ketiga Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) dan Finance Central Bank Deputies Meeting (FCBD) resmi berlangsung hari ini, Rabu (13/7/2022) di Bali Nusa Dua Convention Center.
"Bank Indonesia akan tetap mewaspadai tekanan inflasi dan dampaknya terhadap ekspektasi inflasi, serta siap menyesuaikan suku bunga jika ditemukan tanda-tanda peningkatan inflasi inti," jelas Juda.
BI menyadari situasi sekarang tidak mudah. Pandemi covid-19 yang belum tuntas hingga perang Rusia dan Ukraina yang tak berkesudahan akan memberikan dampak buruk ke perekonomian global. Indonesia dan banyak negara di dunia akan terkena imbasnya.
"Untuk menjawab tantangan saat ini, bauran Kebijakan Bank Indonesia saat ini ditujukan untuk menjaga stabilitas makro, memfasilitasi pemulihan ekonomi, dan menavigasi ekonomi dan keuangan digital," papar Juda.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
