
Tunggu Data Inflasi yang "Ngeri", Rupiah Menguat Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (13/7/2022). Posisi rupiah yang berada di dekat level psikologis Rp 15.000/US$ membuat rupiah menguat karena faktor teknikal. Selain itu, pelaku pasar juga sedang wait and see jelang rilis data inflasi AS.
Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung menguat 0,1% ke Rp 14.970/US$. Penguatan kemudian bertambah menjadi 0,18% ke Rp 14.958/US$ pada pukul 9:07 WIB.
Rupiah harus berjuang untuk bisa mempertahankan penguatan tersebut, sebab pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih lemah pagi ini ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan kemarin. Hal ini bisa membuat rupiah berbalik arah.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Periode | Kurs Selasa (12/7) pukul 15:17 WIB | Kurs Rabu (13/7) pukul 8:58 WIB |
1 Pekan | Rp14.960,0 | Rp14.975,0 |
1 Bulan | Rp14.979,0 | Rp15.002,9 |
2 Bulan | Rp14.985,0 | Rp15.022,7 |
3 Bulan | Rp15.000,0 | Rp15.045,9 |
6 Bulan | Rp15.059,8 | Rp15.106,6 |
9 Bulan | Rp15.160,8 | Rp15.162,9 |
1 Tahun | Rp15.225,8 | Rp15.248,6 |
2 Tahun | Rp15.634,1 | Rp15.630,6 |
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Perhatian hari ini tertuju pada rilis data inflasi berdasarkan Consumer Price Index (CPI) Amerika Serikat. Seperti diketahui inflasi menjadi momok bagi banyak negara yang bisa menggerus daya beli masyarakat, hingga membawa perekonomian ke jurang resesi.
Hasil survei Reuters menunjukkan inflasi AS pada Juni diperkirakan tumbuh 8,8% year-on-year (yoy), lebih tinggi dari Mei 8,6% (yoy) yang merupakan level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Pelaku pasar melihat puncak inflasi akan terjadi di Juni, dan setelahnya akan melandai. Dengan inflasi yang semakin menanjak, maka bisa dipastikan bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga 75 basis poin bulan ini.
Sebelumnya, data tenaga kerja AS juga sudah mendukung untuk kenaikan agresif tersebut. Departemen Tenaga Kerja AS Jumat pekan lalu melaporkan sepanjang bulan Juni perekonomian mampu menyerap 372.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP), jauh lebih tinggi dari estimasi Dow Jones sebesar 250.000 tenaga kerja.
Sementara itu tingkat pengangguran tetap 3,6%, dan rata-rata upah per jam naik 5,2% (yoy), juga lebih tinggi dari estimasi Dow Jones 5% (yoy).
Dengan kuatnya pasar tenaga kerja, bank sentral AS (The Fed) diperkirakan akan kembali mengerek suku bunga 75 basis poin di bulan ini.
"Kenaikan rata-rata upah memberikan arti The Fed akan semakin agresif dalam beberapa bulan ke depan," kata Andrew Hunter, ekonom senior di Capital Economics, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (8/7/2022).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
