Wall Street Menghijau, Bursa Asia Dibuka Bervariasi

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Kamis, 07/07/2022 08:40 WIB
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Issei Kato)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung beragam pada perdagangan Kamis (7/7/2022), di mana investor sedikit bereaksi setelah dirilisnya hasil rapat kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS).

Indeks Nikkei Jepang dibuka menguat 0,66%, ASX 200 Australia bertambah 0,2%, dan KOSPI Korea Selatan melesat 0,74%. Sementara, untuk indeks Hang Seng Hong Kong dibuka ambles 1,03%, Shanghai Composite China turun tipis 0,06%, dan Straits Times Singapura melemah 0,22%.

Bursa Asia-Pasifik yang cenderung beragam terjadi di tengah cerahnya bursa saham AS, Wall Street pada perdagangan Rabu kemarin waktu setempat, meski bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) masih bersikap agresif dalam menaikan suku bunga acuannya.


Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 0,23% ke 31.037,68, S&P 500 bertambah 0,36% ke 3.845,08, dan Nasdaq Composite melaju 0,35% ke 11.361,85.

Meski Wall Street mampu menguat, tetapi kekhawatiran resesi masih terus membayangi. Apalagi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) kembali mengalami inversi.

Inversi tersebut terjadi setelah yield Treasury tenor 2 tahun (2,996%) lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun (2,934%). Dalam kondisi normal, yield tenor lebih panjang akan lebih tinggi, ketika inversi terjadi posisinya terbalik.

Sebelumnya inversi juga terjadi pada April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Negeri Paman Sam.

Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Setelah rilis riset tersebut, inversi yield terjadi lagi di AS pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Survei terhadap chief financial officer (CFO) yang dilakukan CNBC International awal Juni lalu menunjukkan sebanyak 68% melihat perekonomian AS diprediksi akan mengalami resesi di semester I-2023.

Sementara itu, bank investasi JP Morgan pada pertengahan Juni lalu mengatakan probabilitas AS mengalami resesi saat ini mencapai 85%, berdasarkan pergerakan harga di pasar saham.

Di lain sisi, tingginya inflasi membuat The Fed sangat agresif dalam menaikkan suku bunga. Seperti diketahui pada bulan lalu, The Fed menaikkan suku bunga 75 basis poin (bp) menjadi 1,5% - 1,75%.

Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994, dan di bulan ini akan kembali menaikkan sekitar 50 - 75 bp. Hal itu ditegaskan dalam rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed dini hari tadi.

Bahkan, dalam notula tersebut tersurat The Fed bisa mengambil kebijakan lebih agresif lagi jika tekanan inflasi belum mereda.

"Para anggota dewan setuju bahwa prospek ekonomi memerlukan kebijakan yang ketat, dan mereka mengakui kebijakan yang lebih ketat lagi akan tepat diambil jika tekanan inflasi yang tinggi terus berlanjut," tulis notula tersebut sebagaimana dilansir CNBC International.

The Fed dan bank sentral lainnya yang agresif menaikkan suku bunga diperkirakan membuat dunia mengalami resesi. Hal ini membuat harga minyak mentah merosot, baik West Texas Intermediate (WTI) dan Brent kini berada di bawah US$ 100/barel.

Pada hari ini pukul 06:59 WIB, harga minyak jenis brent berada di US$ 100,15 per barel. Ambles 2,55% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Sementara yang jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI), harganya US$ 98,21 per barel. Berkurang 1,38%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Bursa Asia Anjlok Usai Trump Umumkan Tarif Impor Jepang-Korsel