Amerika Bakal Resesi, Investor Kok Malah Borong Dolar AS?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
06 July 2022 07:45
Dollar
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Negeri adikuasa Amerika Serikat (AS) akan kembali mengalami resesi. Banyak analis memperkirakan resesi akan terjadi di akhir tahun ini atau semester pertama 2023.

Meski demikian, dolar AS justru semakin banyak diburu pelaku pasar, terlihat dari indeksnya yang terus menanjak.

Pada perdagangan Selasa (5/7/2022) indeks dolar AS melesat lebih dari 1% ke atas level 106 yang merupakan posisi tertinggi dalam 20 tahun terakhir. 

Inflasi di AS yang mencapai 8,6% year-on-year (yoy), tertinggi dalam 40 tahun terakhir membuat daya beli masyarakatnya tergerus. Seperti diketahui, konsumsi rumah tangga merupakan tulang punggung perekonomian AS, porsinya terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 70%.

Ketika motor penggerak perekonomian tersebut tersendat, maka pelambatan ekonomi pasti terjadi.

Guna meredam kenaikan inflasi, bank sentral AS (The Fed) agresif menaikkan suku bunga. Hingga Juni lalu, The Fed sudah menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali dengan total 150 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%.

Bulan ini, bank sentral paling powerful di dunia ini akan kembali menaikkan sebesar 50 - 75 basis poin, dan di akhirnya tahun suku bunga diproyeksikan berada di kisaran 3,25% - 3,5%.

Masalah muncul di sini, suku bunga yang dianggap pro pertumbuhan berada di bawah 2,5%, sementara di atasnya akan memicu kontraksi ekonomi.

Maklum saja, dengan suku bunga tinggi, kredit akan seret, ekspansi dunia usaha juga akan melambat, begitu juga dengan belanja konsumen yang akan semakin tertekan.

Alhasil, Amerika Serikat diperkirakan akan mengalami resesi.

Sinyal Amerika Serikat akan kembali mengalami resesi sudah muncul dari inversi imbal hasil (yield) obligasi AS (Treasury) beberapa bulan lalu.

Inversi tersebut terjadi setelah yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun, meski hanya berlangsung sesaat. Dalam kondisi normal, yield tenor lebih panjang akan lebih tinggi, ketika inversi terjadi posisinya terbalik.

Sebelumnya inversi juga terjadi di bulan April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Amerika Serikat.

Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Setelah rilis riset tersebut, inversi yield terjadi lagi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Survei terhadap chief financial officer (CFO) yang dilakukan CNBC International awal Juni lalu menunjukkan sebanyak 68% melihat perekonomian AS diprediksi akan mengalami resesi di semester I-2023.

Sementara itu bank investasi JP Morgan pada pertengahan Juni lalu mengatakan probabilitas Amerika Serikat mengalami resesi saat ini mencapai 85%, berdasarkan pergerakan harga di pasar saham.

Indeks S&P 500 sejak awal tahun hingga Juni lalu sudah jeblok sekitar 23%. Menurut JP Morgan, dalam 11 resesi terakhir, rata-rata indeks S&P 500 mengalami kemerosotan sebesar 26%.

Meski risiko Amerika Serikat mengalami resesi sangat besar, tetapi dolar AS justru semakin banyak diburu pelaku pasar.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ini Penyebab Dolar AS Menjadi Primadona

Status dolar sebagai aset safe haven dan "menguasai" dunia membuatnya menjadi primadona.

The greenback menjadi mata uang yang paling banyak digunakan dalam perdagangan internasional. Harga aset juga mayoritas dipatok dengan dolar AS.

Berdasarkan data dari Atlantic Council yang mengutip data dari bank sentral AS (Federal Reserve/The) pada periode 1999-2019, penggunaan dolar AS dalam transaksi internasional di wilayah Amerika Utara dan Selatan mencapai 96,4%. Kemudian di Asia Pasifik nilainya mencapai 74%.

Porsi penggunaan dolar AS hanya lebih kecil di Eropa yakni 23,1% saja. Maklum saja, Eropa memiliki mata uang tunggal yakni euro yang kontribusinya terhadap perdagangan ekspor impor di Eropa mencapai 66,1%.

idrFoto: Atlantic Council

Di sisa dunia lainnya, penggunaan dolar AS mencapai 79,1%. Belum lagi melihat porsinya di cadangan devisa global yang hampir 60%, terlihat jelas bagaimana dominasi dolar AS di dunia finansial.

Artinya, dolar AS bisa diterima di mana-mana. Hal ini membuat permintaannya selalu tinggi, apalagi dengan The Fed yang agresif menaikkan suku bunga, aliran modal tentunya masuk ke Negeri Paman Sam.

Selain itu, resesi tidak hanya diperkirakan terjadi di Amerika Serikat, tetapi beberapa negara besar lainnya akibat menaikkan suku bunga dengan agresif guna meredam inflasi.

"Banyak bank sentral saat ini mandatnya pada dasarnya berubah menjadi tunggal, yakni menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter merupakan aset yang sangat berharga yang tidak boleh hilang, sehingga bank sentral akan agresif menaikkan suku bunga," kata Rob Subbraman, kepala ekonom Nomura dalam acara Street Signs Asia CNBC International, Selasa (5/7/2022).

Subbraman memproyeksikan dalam 12 bulan ke depan zona euro, Inggris, Jepang, Australia, Kanada dan Korea Selatan juga akan mengalami resesi.

"Kenaikan suku bunga yang agresif artinya kita melihat kebijakan front loading. Dalam beberapa bulan kami telah melihat risiko resesi, dan sekarang beberapa negara maju benar-benar jatuh ke jurang resesi," tambah Subbraman.

Hal ini tentunya membuat permintaan dolar AS yang menyandang status safe haven semakin meningkat.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Segini Harga Jual Beli Kurs Rupiah di Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular