Review Semester I-2022

Semester Satu, Mata Uang Kripto Besar Anjlok 50%-80%!

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
01 July 2022 14:15
Ilustrasi Cryptocurrency (Photo by Pierre Borthiry on Unsplash)
Foto: Ilustrasi Cryptocurrency (Photo by Pierre Borthiry on Unsplash)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar kripto pada semester pertama tahun 2022 mengalami kinerja yang cukup buruk. Investor cenderung khawatir dengan kondisi makroekonomi global yang semakin memburuk.

Selain itu, adanya kejatuhan koin digital (token) besutan Terraform Labs yakni Terra Luna (LUNA) dan stablecoin satu-satunya di ekosistem Terra yakni TerraUSD (UST) turut memperberat kinerja kripto pada paruh pertama di tahun ini.

Bahkan, kejatuhan LUNA dan UST membuat pasar kripto mengalami crash dua kali dalam periode semester I-2022, di mana crash yang pertama tentunya akibat dari kejatuhan LUNA dan UST, sedangkan crash kedua disebabkan karena beberapa perusahaan kripto dilanda krisis.

Dari pergerakan kripto utama, seperti Bitcoin, Ethereum, dan lainnya, sepanjang semester I-2022 mencatatkan koreksi yang cukup parah yakni di atas 50%.

Di Bitcoin sendiri, pada periode semester I-2022 tercatat terkoreksi hingga 57,27%, sedangkan di Ethereum, koreksinya mencapai 71,02%. Yang terparah dialami oleh token Solana yang ambruk hingga 80,28% sepanjang semester I-2022. Berikut pergerakan enam terbesar kripto pada semester I-2022.

Sementara dari token berjenis stablecoin, secara mayoritas mengalami penguatan dan cenderung stabil, meski token jenis ini juga sempat terpengaruh dari kejatuhan LUNA dan UST.

Di Tether, stablecoin terbesar berdasarkan kapitalisasi pasarnya mencatatkan pelemahan 0,14% pada semester I-2022. Sedangkan USD Coin yang dinilai lebih stabil justru turun tipis 0,01%.

Namun untuk stablecoin lainnya terpantau menguat, di mana stablecoin Pax Dollar menguat cukup signifikan pada semester I-2022.

Berikut pergerakan enam terbesar kripto stablecoin pada semester I-2022.

Sejatinya, pasar kripto telah membentuk tren bearish sejak awal tahun ini, di mana investor sudah berekspektasi bahwa inflasi global akan terus meninggi dan bank sentral Negara Barat, termasuk bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) akan semakin agresif untuk menaikan suku bunga acuannya.

Pada tahun ini, inflasi di AS berada di level tertingginya sejak empat dekade terakhir, di mana inflasi dari sektor konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) AS periode Mei lalu melonjak menjadi 8,6%, lebih tinggi dari periode Maret lalu yang sebesar 8,5%. Hal ini menjadikan IHK AS pada Mei lalu menjadi yang tertinggi sejak Desember 1981.

Sejumlah faktor menjadi pendorong inflasi Mei tersebut, seperti harga energi naik 34,6%, terbesar sejak September 2005 dan harga makanan melonjak 10,1%, kenaikan pertama 10% atau lebih sejak periode yang berakhir Maret 1981.

Melonjaknya kembali inflasi membuat The Fed terpaksa menaikan suku bunga acuannya. Seperti diketahui, The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell sudah menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun ini.

Teranyar dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis (16/6/2022) dini hari waktu Indonesia, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5-1,75%.

Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994, dan masih belum akan berakhir. Berdasarkan Fed Dot Plot yang dirilis setiap akhir kuartal, mayoritas anggota pembuat kebijakan moneter (The Fed) melihat suku bunga di akhir tahun berada di 3,4% atau di rentang 3,25-3,5%.

Inflasi yang tinggi dapat menggerus daya beli masyarakat. Hal tersebut membuat perekonomian AS terancam mengalami resesi, begitu juga dengan beberapa negara lainnya.

"Itu (resesi) mungkin terjadi. Itu bukan hasil yang kami inginkan, tetapi kemungkinan itu pasti, dan terus terang peristiwa yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir di seluruh dunia membuat kami lebih sulit mencapai apa yang kami inginkan, yakni inflasi 2% dengan pasar tenaga kerja yang tetap kuat," kata Powell di hadapan Kongres AS Rabu (22/6/2022) lalu.

Ketika daya beli tergerus dan potensi resesi semakin membesar, maka pasar kripto menjadi korbannya karena masyarakat tak lagi 'getol' menempatkan dananya di aset berisiko tersebut.

Selain karena inflasi yang meninggi, kenaikan suku bunga The Fed, dan potensi resesi di AS, konflik antara Rusia-Ukraina yang terus berlarut-larut dan kondisi pandemi Covid-19 di China pada pertengahan semester I tahun ini yang makin mengkhawatirkan juga memperberat kinerja kripto sepanjang semester I tahun ini.

Setelah pasar kripto terus lesu karena kondisi makroekonomi yang memburuk, kondisi pasar kripto pun makin memburuk setelah adanya kejatuhan dua token Terra yakni LUNA dan UST.

Fenomena jatuhnya dua kripto besutan Terra yakni LUNA dan UST sempat membuat heboh di kalangan investor dan trader di pasar kripto.

Token LUNA, harganya yang sempat menyentuh harga tertingginya di US$ 116,41 per keping pada awal April lalu, tiba-tiba ambruk ke bawah kisaran harga US$ 1 per kepingnya pada awal Mei lalu.

Sedangkan di UST pada awal Mei lalu juga tak dapat mempertahankan pasaknya di US$ 1, di mana UST anjlok ke bawah US$ 1. Bahkan pada pertengahan Mei hingga awal Juni, harga UST pun makin menjauhi US$ 1.

LUNA merupakan aset kripto proyek berbasis blockchain yang dikembangkan oleh Terraform Labs di Korea Selatan.

Terra memiliki ambisi sebagai platform yang menciptakan stablecoin yang dikaitkan dengan uang resmi yang diterbitkan oleh bank sentral.

Tujuannya untuk mendukung sistem pembayaran global dengan settlement yang cepat dan terjangkau seperti contohnya Alipay di blockchain. Pengembang menawarkan target satu koin senilai US$ 1.

LUNA memiliki peran yang vital untuk menstabilkan harga dari stablecoin yang ada di ekosistem Terra dan mengurangi volatilitas pasar. Ketika UST turun sedikit maka LUNA akan dijual atau dibakar (dihancurkan) untuk menstabilkan harga.

UST merupakan stablecoin algoritma. Alih-alih memiliki uang tunai dan aset riil lainnya yang disimpan sebagai cadangan untuk mendukung token, proyek ini menggunakan campuran kode yang komplek dan LUNA untuk menstabilkan harga.

LUNA dan UST memang menjadi penyebab crash kripto pertama pada awal Mei lalu. Namun, Bitcoin yang dikabarkan menjadi cadangan tambahan di ekosistem Terra turut membuat harga Bitcoin ambruk dan sempat menyentuh level terendahnya sejak Juli 2021 pada saat itu.

Menurut CEO Binance, Changpeng Zhao, kejatuhan LUNA dan UST terjadi karena adanya cacat desain yang dia sebut sebagai paling bodoh.

Cacat desain itu menerbitkan lebih banyak aset akan meningkatkan nilai total atau kapitalisasi pasar. Menurutnya mencetak token lebih banyak tidak akan menciptakan nilai, namun akan melemahkan nilai aset kripto.

"Mencetak Luna secara eksponensial membuat masalah jadi jauh lebih buruk. Siapapun yang merancang ini harus diperiksa otaknya,"tulis Zhao.

Setelah sekitar sebulan pasca jatuhnya LUNA dan UST, giliran perusahaan-perusahaan kripto yang dilanda masalah akibat banyaknya investor yang ingin menarik dananya di perusahaan tersebut.

Banyak perusahaan kripto yang terpaksa melakukan pemangkasan karyawannya untuk alasan efisiensi agar perusahaan dapat berjalan normal. Beberapa perusahaan tersebut seperti BlockFi, Bybit, Crypto.com, dan Coinbase.

Namun, ada salah satu perusahaan peminjaman kripto yang sempat membuat gempar di kalangan investor, yakni Celsius Network, di mana perusahaan menghentikan penarikan dana oleh nasabahnya. Hingga kini pun, Celsius sepertinya belum membuka kembali penarikan dana tersebut.

Kejadian yang ditimbulkan oleh Celsius membuat pasar kripto mengalami crash untuk kedua kalinya hanya dalam hitungan bulan saja. Bahkan di Bitcoin, harganya makin ambruk dan sempat menyentuh level terendahnya sejak 2017, yakni di kisaran US$ 17.000.

Krisis yang dimulai oleh Celsius pun mulai merembet, di mana beberapa perusahaan kripto juga dilanda krisis keuangan, utamanya krisis likuiditas. Seperti yang terjadi di perusahaan dana lindung nilai (hedge fund), Three Arrows Capital yang sudah dinyatakan default oleh Voyager Digital, salah satu kreditur Three Arrows Capital.

Hingga kini, krisis likuditas yang menimpa beberapa perusahaan kripto masih terus terjadi, di mana mereka yang mengalami krisis juga sempat berinvestasi token LUNA dan UST.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gerak Kripto Masih Kayak Gini, Susah Bikin Kaya Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular