Review Semester I-2022

Semester I, Rupiah Terbaik di Antara yang Terburuk di Asia

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 July 2022 12:15
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang utama Asia rontok melawan dolar Amerika Serikat (AS) di semester II-2022. Meski demikian, rupiah menjadi salah satu yang terbaik, pelemahannya menjadi yang terkecil kedua setelah dolar Singapura.

Melansir data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan Kamis (30/6/2022) di Rp 14.895/US$. Dengan demikian, sepanjang semester II-2022 rupiah tercatat melemah sekitar 4,5%. Sementara dolar Singapura tercatat melemah 3%.

Mata uang utama Asia lainnya merosot lebih tajam, yen Jepang menjadi yang terburuk dengan pelemahan lebih dari 17%.

Bank sentral AS (The Fed) yang agresif dalam menaikkan suku bunga guna meredam tingginya inflasi menjadi pemicu rontoknya mata uang Asia. Hal ini diperburuk dengan perekonomian global yang terancam melambat bahkan beberapa negara terancam mengalami resesi, termasuk Amerika Serikat.

Seperti diketahui The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell sudah menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun ini. Teranyar dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis (16/6/2022) dini hari waktu Indonesia, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5-1,75%.

Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994, dan masih belum akan berakhir. Berdasarkan Fed Dot Plot yang dirilis setiap akhir kuartal, mayoritas anggota pembuat kebijakan moneter (The Fed) melihat suku bunga di akhir tahun berada di 3,4% atau di rentang 3,25-3,5%.

Inflasi yang tinggi menjadi alasan The Fed sangat agresif dalam menaikkan suku bunga. Beberapa bank sentral utama juga melakukan hal yang sama.

Inflasi yang tinggi dapat menggerus daya beli masyarakat, ditambah dengan suku bunga tinggi ekspansi dunia usaha tentunya tertahan. Hal tersebut membuat perekonomian AS terancam mengalami resesi, begitu juga dengan beberapa negara lainnya.

"Itu (resesi) mungkin terjadi. Itu bukan hasil yang kami inginkan, tetapi kemungkinan itu pasti, dan terus terang peristiwa yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir di seluruh dunia membuat kami lebih sulit mencapai apa yang kami inginkan, yakni inflasi 2% dengan pasar tenaga kerja yang tetap kuat," kata Powell di hadapan Kongres AS Rabu (22/6/2022).

Ketika Amerika Serikat resesi, begitu juga negara lainnya, maka dolar AS akan menjadi primadona karena statusnya sebagai aset safe haven.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Tingginya Harga Komoditas Untungkan Rupiah

Perang Rusia-Ukraina menjadi salah satu pemicu tingginya inflasi. Sebab, harga komoditas energi meroket. Tetapi hal tersebut justru memberikan keuntungan bagi Indonesia.

Tingginya harga batu bara, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan beberapa komoditas lainnya membuat neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus 25 bulan beruntun.

Alhasil, transaksi berjalan juga menjadi surplus di tahun 2021 dan kuartal I-2022 yang membuat rupiah lebih kuat. Saat transaksi berjalan surplus artinya devisa masuk ke dalam negeri.

Di kuartal II-2022, Bank Indonesia (BI) memperkirakan transaksi berjalan masih akan surplus.

"Transaksi berjalan pada kuartal II diperkirakan surplus, melanjutkan surplus pada kuartal sebelumnya," ungkap Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (23/6/2022).

Selain itu, aliran modal mengalir deras di pasar saham Indonesia. Perang Rusia-Ukraina membuat capital outflow yang masif terjadi di Eropa. Duit tersebut mencari tempat baru untuk "berkembang biak", Indonesia menjadi salah satu tujuannya.

Sepanjang semester I-2022, data perdagangan mencatat asing net buy Rp 52,29 triliun di pasar reguler sepanjang tahun ini.

Aliran modal yang masuk ke pasar saham tersebut mampu sedikit menutupi capital outflow yang terjadi di pasar obligasi. Bank Indonesia (BI) mencatat sejak awal tahun hingga 23 Juni 2022, investor asing jual neto di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 105,1 triliun.

Maklum saja, dengan The Fed agresif menaikkan suku bunga, yield obligasi AS (Treasury) ikut menanjak, yang memicu capital outflow dari pasar obligasi emerging market.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Segini Harga Jual Beli Kurs Rupiah di Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular