
Rupiah Jeblok di Awal Semester II, Makin Dekat Rp 15.000/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terpuruk melawan dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pertama semester II-2022. Mata uang Garuda kini semakin mendekati Rp 15.000/US$.
Pada perdagangan Jumat (1/7/2022) rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,1% ke Rp 14.910/US$. Depresiasi semakin membengkak menjadi 0,34% ke Rp 14.945/US$ pada pukul 9:05 WIB. Level tersebut merupakan yang terlemah dalam 19 bulan terakhir, tepatnya sejak 11 September 2020.
Tanda-tanda rupiah bakalan menembus jauh ke atas Rp 14.900/US$ sudah terlihat di pasar non-deliverable forward (NDF). Sebelum perdagangan hari ini dibuka, rupiah tenor 1 pekan di NDF sudah berada cukup jauh dari level tersebut.
Periode | Kurs Kamis (30/6) pukul 15:13 WIB | Kurs Jumat (1/7) pukul 8:56 WIB |
1 Pekan | Rp14.904,5 | Rp14.948,6 |
1 Bulan | Rp14.916,0 | Rp14.966,9 |
2 Bulan | Rp14.932,8 | Rp14.984,7 |
3 Bulan | Rp14.944,0 | Rp15.006,7 |
6 Bulan | Rp14.996,0 | Rp15.051,2 |
9 Bulan | Rp15.042,0 | Rp15.114,4 |
1 Tahun | Rp15.112,7 | Rp15.179,6 |
2 Tahun | Rp15.533,0 | Rp15.550,3 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Rupiah masih tertekan meski indeks dolar AS yang turun 0,4% pada perdagangan Kamis setelah menguat lebih dari 1% dalam dua hari perdagangan sebelumnya. Inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menaikkan suku bunga kembali melandai, meski masih tinggi.
Data dari Departemen Perdagangan AS menunjukkan inflasi inti PCE di Mei tumbuh 4,7% (year on year/yoy), lebih rendah dari bulan sebelumnya 4,9%, dan sudah menurun dalam 3 bulan beruntun.
Data yang dirilis pagi ini dari dalam negeri memberikan tekanan bagi rupiah. S&P Global mengumumkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia periode Juni 2022 berada di 50,2. PMI menggunakan angka 50 sebagai tolok ukur. Kalau masih di atas 50, maka artinya berada di zona ekspansi.
Akan tetapi, pencapaian Juni turun dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat 50,8. Skor PMI manufaktur Indonesia memang sudah 10 bulan beruntun di atas 50, tetapi bulan ini menjadi yang terendah.
"PMI berada di posisi terendah selama periode ekspansi, hanya tipis di atas zona netral 50. Hanya ada sedikit perbaikan, yaitu di sektor kesehatan," ungkap laporan S&P Global.
Produksi manufaktur dan pemesanan baru (new orders) tumbuh, tetapi tipis saja. Bahkan pertumbuhan pemesanan baru jadi yang terendah dalam 10 bulan periode ekspansi.
Tekanan inflasi, menurut laporan S&P Global, begitu terasa pada Juni. Harga bahan baku yang lebih tinggi menyebabkan kelangkaan, membuat biaya input membengkak.
Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini akan merilis data inflasi berdasarkan consumer price index (CPI).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 14 institusi memperkirakan inflasi Indonesia diperkirakan mencapai 0,44% (month to month/mtm) pada Juni tahun ini, meningkat dibandingkan 0,4% pada Mei lalu.Inflasi secara tahunan (yoy) juga diperkirakan melonjak.
Inflasi secara tahunan diperkirakan menembus 4,15%. Level tersebut akan menjadi yang tertinggi sejak Juni 2017 atau dalam lima tahun terakhir di mana pada saat itu inflasi tercatat 4,37%.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan inflasi di bulan Juni merangkak naik karena meningkatnya inflasi komponen inti dan kelompok barang bergejolak.
"Kenaikan inflasi inti disebabkan oleh peningkatan konsumsi domestik, diikuti dengan kenaikan harga emas global. Di sisi lain, beberapa harga pangan masih mencatatkan kenaikan sepanjang bulan Juni," tutur Josua, kepada CNBC Indonesia.
Rilis data inflasi inti juga akan mempengaruhi outlook suku bunga Bank Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
