The Fed Makin 'Galak', Dolar AS Stabil, Rupiah Merana Lagi...

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
30 June 2022 11:51
FILE PHOTO: A U.S. Dollar note is seen in this June 22, 2017 illustration photo.   REUTERS/Thomas White/Illustration/File Photo
Foto: Foto Ilustrasi mata uang Dolar. REUTERS / Daniel Munoz / File Photo

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah kembali tak berdaya di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) hingga di pertengahan perdagangan Kamis (30/6/2022). Artinya, rupiah terkoreksi hampir tiga hari beruntun.

Melansir Refinitiv, rupiah di sesi awal perdagangan terkoreksi 0,01% ke Rp 14.850/US$. Sayangnya, rupiah kembali melemah lebih tajam menjadi 0,18% ke Rp 14.875/US$ pada pukul 11:00 WIB.

Pada Kamis (30/6), indeks dolar AS bergerak menguat terhadap 6 mata uang dunia lainnya dan menyentuh titik tertinggi selama dua pekan di 105,19. Namun, pukul 11:00 WIB, dolar AS terkoreksi tipis 0,08% ke posisi 105,026. Meski begitu, sang greenback tidak berada jauh dari rekor tertingginya selama dua pekan.

Menurut analis Strategi Westpac dalam catatan kepada klien menilai bahwa indeks dolar AS terlihat bergerak pada kisaran level 101 hingga 105 untuk saat ini dan tidak akan mencapai puncaknya sampai mendekati akhir dari siklus pengetatan The Fed.

Hal serupa diserukan oleh Christopher Wong, ahli strategi senior FX di Maybank mengatakan bahwa pasar bergerak menjauh dari aset berisiko setelah Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell memperingatkan bahwa inflasi akan menyakitkan dan menghancurkan pertumbuhan ekonomi, maka The Fed pun memprioritaskan memeranginya, sehingga menghasilkan dolar AS rebound.

Kemarin, Powell memberikan pernyataannya pada forum bank sentral Eropa (ECB) dan terdengar sangat hawkish.

"Prosesnya sangat mungkin melibatkan beberapa rasa sakit tetapi rasa sakit terburuk adalah karena gagal mengatasi inflasi yang tinggi ini dan membiarkannya menjadi persisten," kata Powell pada konferensi tahunan Bank Sentral Eropa di Sintra, Portugal yang dikutip dari Reuters.

Tidak jauh berbeda, kepala analis Bank Dunia Carmen Reinhart mengatakan dia skeptis bahwa AS dan ekonomi global dapat menghindari resesi, mengingat inflasi melonjak, kenaikan suku bunga yang tajam dan pertumbuhan ekonomi yang lambat di China.

"Saya cukup skeptis. Pada pertengahan 1990-an, di bawah Ketua Fed Alan Greenspan, kami mengalami soft landing, tetapi kekhawatiran inflasi pada saat itu sekitar 3%, bukan sekitar 8,5%. Ini tidak seperti Anda dapat menunjukkan banyak episode pengetatan Fed yang signifikan yang belum berdampak pada perekonomian," katanya.

Menurutnya krisis keuangan global pada 2008-2009 sebagian besar mempengaruhi selusin negara maju dan China pada waktu itu adalah mesin pertumbuhan yang besar, tetapi krisis ini jauh lebih luas dan pertumbuhan China tidak lagi dalam dua digit.

Sebenarnya, terkoreksinya rupiah telah teridentifikasi pada pasar Non-Deliverable Forward (NDF). Rupiah bergerak melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan pada kemarin (29/6).

Periode

Kurs Rabu (29/6) pukul 15:13 WIB

Kurs Kamis (30/6) pukul 11:05 WIB

1 Pekan

Rp14.837,3

Rp14.878,5

1 Bulan

Rp14.850,0

Rp14.890,0

2 Bulan

Rp14.870,5

Rp14.903,5

3 Bulan

Rp14.887,0

Rp14.920,0

6 Bulan

Rp14.961,0

Rp14.970,0

9 Bulan

Rp14.961,0

Rp15.030,0

1 Tahun

Rp15.069,0

Rp15.102,0

2 Tahun

Rp15.454,2

Rp15.469,7

NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.

Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aaf/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular