
Dolar AS Laku Keras! Rupiah Bakal Melemah 3 Hari Beruntun

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah lagi melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (30/6/2022). Dolar AS yang kembali perkasa merespon pernyataan ketua The Fed (bank sentral AS) membuat rupiah kini melemah 3 hari beruntun.
Rupiah melemah tipis 0,01% saat pembukaan perdagangan, kemudian bertambah menjadi 0,11% ke Rp 14.865/US$ pada pukul 9:06 WIB di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Tanda-tanda rupiah kembali melemah sudah terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) pagi ini. Posisinya lebih lemah ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan kemarin.
Periode | Kurs Rabu (29/6) pukul 15:13 WIB | Kurs Jumat (30/6) pukul 8:58 WIB |
1 Pekan | Rp14.837,3 | Rp14.851,0 |
1 Bulan | Rp14.850,0 | Rp14.866,0 |
2 Bulan | Rp14.870,5 | Rp14.881,0 |
3 Bulan | Rp14.887,0 | Rp14.892,7 |
6 Bulan | Rp14.961,0 | Rp14.946,3 |
9 Bulan | Rp14.961,0 | Rp14.997,0 |
1 Tahun | Rp15.069,0 | Rp15.074,8 |
2 Tahun | Rp15.454,2 | Rp15.470,0 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Ketua The Fed Jerome Powell yang berbicara Rabu kemarin mengatakan ancaman terbesar bagi perekonomian AS adalah inflasi yang persisten.
Berbicara di European Central Bank Forum, Powell menyatakan tidak bisa menjamin perekonomian AS terhindar dari resesi akibat kenaikan suku bunga agresif.
Pernyataan tersebut menegaskan The Fed akan terus menaikkan suku bunga untuk menurunkan inflasi, meski perekonomian AS berisiko mengalami resesi. Kenaikan suku bunga dan resesi membuat dolar AS menjadi primadona.
Tanda-tanda pelaku pasar beralih ke dolar AS terlihat dari posisi beli bersih (net long) yang naik tajam. Data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC) menunjukkan posisi spekulatif net long dolar AS melonjak US$ 1,52 miliar atau sekitar Rp 22,5 triliun (kurs Rp 14.800/US$) dalam sepekan yang berakhir 21 Juni.
Kenaikan tersebut artinya para spekulan semakin banyak memborong dolar AS, ketimbang mata uang utama lainnya, yen, euro, poundsterling, franc dolar Kanada dan dolar Australia.
Kenaikan net long tersebut bisa menjadi indikasi dolar AS akan terus menguat. Dalam dua hari terakhir indeks dolar AS kembali melaju kencang, total kenaikannya lebih dari 1%. Hal ini tentunya menyulitkan rupiah untuk bisa menguat.
"Bagi saya Powell terdengar hawkish. Dia berbicara keinginannya bertindak preemptive atau tidak ingin melihat kenaikan ekspektasi inflasi," kata Eric Nelson, analis mata uang di Wells Fargo, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (29/6/2022).
Ekspektasi inflasi di Amerika Serikat juga terus menanjak. Data yang dirilis Conference Board Selasa lalu menunjukkan ekspektasi inflasi dalam 12 bulan ke depan mencapai 8%, tertinggi sejak data mulai dikumpulkan pada Agustus 1987.
Selain itu, konsumen juga menjadi pesimistis menghadapi perekonomian, terlihat dari indeks keyakinan konsumen (IKK) Juni yang merosot menjadi 98,7, dari bulan sebelumnya 103,3. Penurunan tersebut membawa tingkat keyakinan konsumen ke titik terendah dalam 16 bulan terakhir.
Angka di bawah 100 menandakan pesimistis, sementara di atasnya optimistis. Ketika konsumen pesimistis, maka belanja rumah tangga berisiko menurun yang berdampak pada pelambatan ekonomi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
