
Rupiah Sikat Dolar AS & Menguat Tajam, Jadi Terbaik di Asia?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sukses menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (27/8/2022), bahkan sempat menembus ke bawah Rp 14.800/US$. Penguatan tersebut tentunya menjadi awal yang baik setelah melemah dalam dua pekan beruntun.
Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka rupiah langsung melesat 0,37% ke Rp 14.790/US$. Apresiasi sempat bertambah hingga menyentuh Rp 14.780/US$, sebelum terpangkas dan berada di Rp 14.810/US$.
Sepanjang hari ini rupiah tidak pernah mencicipi pelemahan, hingga menutup perdagangan di Rp 14.800/US$, menguat 0,3% di pasar spot.
Tidak hanya rupiah, mayoritas mata uang utama Asia juga menguat melawan dolar AS, bahkan beberapa lebih besar dari rupiah.
Hingga pukul 15:03 WIB, won Korea Selatan menguat 0,45%, menjadi yang terbaik hari ini disusul baht Thailand sebesar 0,34%. Rupiah menjadi yang terbaik ketiga.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Fakta mayoritas mata uang Asia menguat menunjukkan dolar AS sedang tertekan.
Pasar masih menimbang-nimbang outlook suku bunga bank sentral AS (The Fed) di tahun ini. The Fed memang sudah menegaskan akan bertindak agresif guna meredam inflasi. Di bulan ini, The Fed sudah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%, dan bulan depan akan dinaikkan lagi 50 -75 basis poin. Di akhir tahun suku bunga diproyeksikan berada di 3,25% - 3,5%.
Namun, harga minyak mentah yang merosot dalam dua pekan terakhir membuka peluang penurunan harga energi yang bisa meredam inflasi. Pasar kembali melihat potensi The Fed akan sedikit mengendur dalam menaikkan suku bunga.
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) di pekan lalu tercatat turun 1,8% ke US$ 107,62/barel, setelah sebelumnya sempat jeblok nyaris ke bawah US$ 100/barel. Dalam dua pekan, total minyak WTI jeblok lebih dari 10%. Sementara itu minyak jenis Brent merosot 7,3%.
Penurunan masih berlanjut hingga hari ini.
"Penurunan harga komoditas dapat menarik turun inflasi, kemungkinan saat memasuki musim gugur. Hal ini bisa membuat The Fed tidak terlalu agresif dalam mengetatkan moneter," kata Karl Schamotta, kepala strategi pasar di Corpay yang berada di Toronto, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (24/6/2022).
Di sisi lain, penurunan harga minyak mentah akan menguntungkan bagi Indonesia, sebab beban impor akan berkurang.
Harga tertinggi minyak mentah di tahun ini tercatat pada bulan Maret lalu. Minyak WTI sempat menyetuh US$ 130/barel, sementara Brent nyaris mencapai US$ 140/barel.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari - Mei, impor migas Idonesia melonjak lebih dari 30% menjadi US$ 95,18 miliar. Jika harga minyak mentah terus menurun, tentunya nilai impor bisa ditekan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
