
Satu Kata yang Bikin Harga Minyak Turun Pagi Ini: Resesi!

Pekan lalu, Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome 'Jay' Powell berpidato di hadapan Senat dan House of Representatives. Dalam pidato tersebut, Powell menegaskan komitmennya untuk 'berperang' secara total melawan inflasi. Sebagai informasi, inflasi di Negeri Paman Sam sudah di atas 8%.
"Sangat penting bagi kami untuk mengembalikan stabilitas harga. Tanpa itu, negeri ini tidak akan mampu mempertahankan penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment) secara berkelanjutan," tegas Powell, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Oleh karena itu, pasar memperkirakan The Fed bakal agresif mendongkrak suku bunga acuan. Pada akhir tahun ini, Federal Funds Rate diperkirakan berada di 3,25-3,5%, mengutip CME FedWatch. Probabilitas ke arah sana adalah 42,4%.
![]() |
Saat suku bunga acuan naik, maka suku bunga lain juga akan ikut terungkit. Akibatnya, biaya ekspansi rumah tangga dan dunia usaha akan lebih mahal. Ekspansi konsumsi dan investasi akan terbatas sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi.
Akhir pekan lalu, Universitas Michigan merilis data sentimen konsumen periode Juni 2022. Angkanya ada di 50, anjlok dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 55,2. Pencapaian Juni adalah yang terendah sepanjang sejarah pencatatan.
"Resesi di AS semakin dibahas dan makin nyata. Hantu resesi di AS mulai disebut oleh berbagai ekonom dan policy maker. Ekonomi di AS menjadi faktor yang mempengaruhi outlook perekonomian dunia," tegas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pekan lalu.
"Kalau AS, dan kemudian seluruh dunia, masuk ke zona resesi, maka permintaan (minyak) pasti akan turun," ujar Andrew Lipow, Presiden Lipow Oil Associates yang berbasis di Houston (AS), seperti dikutip dari Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
