Isu Resesi Bikin Mata Uang Eropa Rontok, Rupiah Tetap Tegar!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Jumat, 24/06/2022 09:22 WIB
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar bergerak volatil melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (24/6/2022). Bank Indonesia (BI) yang mengumumkan kebijakan moneter kemarin, kemudian testimoni ketua bank sentral AS (The Fed), serta pergerakan harga minyak mentah menjadi faktor utama yang mempengaruhi pergerakan rupiah hari ini.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuak perdagangan dengan menguat tipis saja 0,01% ke Rp 14.833/US$, setelahnya berbalik melemah 0,03% ke Rp 14.840/US$. Tidak lama, rupiah menguat 0,1% ke Rp 14.820/US$ pada pukul 9:06 WIB.

Pergerakan rupiah di pasar non-deliverable forward (NDF) pagi ini juga tidak jauh ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan kemarin. Hal tersebut mengindikasikan rupiah bisa bolak balik antara penguatan dan pelemahan.


Periode

Kurs Kamis (23/6) pukul 15:17 WIB

Kurs Jumat (24/6) pukul 8:58 WIB

1 Pekan

Rp14.828,5

Rp14.834,7

1 Bulan

Rp14.845,5

Rp14.853,9

2 Bulan

Rp14.857,5

Rp14.873,7

3 Bulan

Rp14.877,7

Rp14.888,9

6 Bulan

Rp14.922,2

Rp14.927,4

9 Bulan

Rp14.980,5

Rp14.994,8

1 Tahun

Rp15.075,5

Rp15.074,3

2 Tahun

Rp15.533,0

Rp15.437,0

NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.

Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.

Pergerakan rupiah sepanjang tahun ini masih cukup bagus, pelemahannya sekitar 4%, menjadi salah satu yang terendah dibandingkan mata uang utama Asia lainnya. 

Dibandingkan mata uang Eropa, rupiah juga jauh lebih baik. Kecemasan akan terjadinya resesi membuat kurs euro jeblok lebih dari 7% melawan dolar AS, poundsterling juga merosot nyaris 10%. 

The Fed yang menegaskan komitmennya untuk menurunkan inflasi di Amerika Serikat (AS) dengan menaikkan suku bunga lebih agresif dikhawatirkan akan memicu resesi. 

Seperti diketahui The Fed pada pekan lalu menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%. Ketua The Fed, Jerome Powell mengatakan akan kembali menaikkan suku bunga sebersa 50 - 75 basis poin bulan depan, dan di akhir tahun diperkirakan berada di kisaran 3,25% - 3,5%.

Powell memberikan testimoninya di hadapan Kongres AS pada Rabu dan Kamis kemarin. Sejauh ini, Powell masih optimistis dengan kondisi perekonomian AS, pasar tenaga kerja ketat dan demand masih tinggi. Meski demikian, ia juga menyatakan resesi mungkin akan terjadi.

"Itu (resesi) mungkin terjadi. Itu bukan hasil yang kami inginkan, tetapi kemungkinan itu pasti, dan terus terang peristiwa yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir di seluruh dunia membuat kami lebih sulit mencapai apa yang kami inginkan, yakni inflasi 2% dengan pasar tenaga kerja yang tetap kuat," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (22/6/2022)

Kekhawatiran akan resesi membuat harga minyak mentah terus merosot, sebab permintaan akan mengalami penurunan jika benar terjadi. Tetapi, penurunan minyak mentah bisa menjadi sentimen positif ke rupiah.

Minyak Brent kemarin turun 1,7% ke US$ 110.05/barel, dan dalam dua pekan ambrol lebih dari 10%. Minyak West Texas Intermediate (WTI) bahkan lebih parah lagi. Pada perdagangan Kamis WTI turun 1,8% ke US$ 104,27/barel, dalam dua pekan jeblok lebih dari 14%.

Penurunan harga minyak mentah tentunya bisa mengurangi beban impor Indonesia. Dengan demikian, tekanan bagi pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak semakin berkurang, dan inflasi bisa lebih terjaga.

Dengan inflasi yang terjaga, daya beli masyarakat bisa menguat dan momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia berlanjut. Terjaganya Inflasi juga memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga lebih lama lagi, sehingga bisa lebih memacu perekonomian.

Kemarin, BI mempertahankan suku bunga acuannya 3,5% pada pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Kamis kemarin. 

Keputusan tersebut diambil karena inflasi di dalam negeri yang masih terkendali, dan nilai tukar rupiah yang pelemahannya tidak terlalu besar. Meski demikian, BI memberikan sinyal suku bunga akan dinaikkan ketika inflasi inti mulai menanjak.

Hingga Mei, inflasi inti masih di 2,58%, di bawah titik tengah sasaran inflasi BI yang 2-4%.

"BI masih melihat, terus mengamati pengaruh dampak ke inflasi pangan,administered prices,dan lakukan langkah-langkah menjaga confidence masyarakat. BI siap untuk menyesuaikan kebijakan suku bunga apabila ada tanda-tanda kenaikan inflasi inti," ungkap Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: "Syarat" Suku Bunga BI Bisa Turun Lebih Cepat Dari The Fed