Bursa Asia Ditutup Cerah, Tapi Tidak Untuk STI-KOSPI

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
23 June 2022 16:56
People walk past an electronic stock board showing Japan's Nikkei 225 index at a securities firm in Tokyo Wednesday, July 10, 2019. Asian shares were mostly higher Wednesday in cautious trading ahead of closely watched congressional testimony by the U.S. Federal Reserve chairman. (AP Photo/Eugene Hoshiko)
Foto: Bursa Asia (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup menguat pada perdagangan Kamis (23/6/2022), meski investor masih cenderung khawatir bahwa resesi ekonomi global berpotensi kembali terjadi.

Hanya indeks KOSPI Korea Selatan dan Straits Times Singapura (STI) yang ditutup di zona merah pada perdagangan hari ini. KOSPI ditutup ambles 1,22% ke posisi 2.314,32, sedangkan STI turun tipis 0,02% ke 3.092,8.

Sedangkan sisanya berakhir di zona hijau. Indeks Nikkei Jepang ditutup naik tipis 0,08% ke posisi 26.171,25, Hang Seng Hong Kong melonjak 1,26% ke 21.273,869, Shanghai Composite China melejit 1,62% ke 3.320,15, ASX 200 Australia menguat 0,31% ke 6.528,4, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir terapresiasi 0,2% ke posisi 6.998,267.

Dari Singapura, inflasi pada periode Mei 2022 kembali naik. Berdasarkan data dari Otoritas Moneter Singapura (MAS) dan Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura (MTI), inflasi utama pada Mei 2022 tercatat sebesar 5,6% (year-on-year/yoy), lebih tinggi dari inflasi April 2022 sebesar 5,4% sekaligus menjadi yang tertinggi sejak 2011.

Sedangkan, inflasi inti Negeri Singa pada bulan lalu naik menjadi 3,6% (yoy), dari sebelumnya sebesar 3,3% pada April lalu, sekaligus menjadi yang tertinggi sejak 2008.

Inflasi makanan mencapai 4,5% pada Mei 2022, lebih tinggi dari inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 4,1%.

Sedangkan inflasi ritel dan barang-barang lainnya juga naik menjadi 1,8%, lebih tinggi dari posisi April 2022 sebesar 1,6%.

Kondisi serupa juga terjadi untuk harga energi, jasa, hingga akomodasi.

MAS dan MTI mengatakan bahwa tekanan inflasi eksternal terus kuat di tengah kenaikan harga komoditas global, serta friksi rantai pasokan yang berkelanjutan yang didorong oleh konflik Rusia-Ukraina dan situasi Covid-19 regional.

"Dalam waktu dekat, risiko geopolitik yang meningkat dan kondisi pasokan yang ketat akan membuat harga minyak mentah tetap tinggi," tutur pernyataan bersama MAS dan MTI.

"Harga komoditas lain seperti makanan juga diperkirakan akan tetap tinggi di tengah ketidaksesuaian pasokan-permintaan, serta gangguan pada transportasi global dan rantai pasokan regional," tambahnya.

Di sisi domestik, pasar tenaga kerja diperkirakan akan tetap ketat, sehingga mendukung laju kenaikan upah yang kuat.

Secara keseluruhan, untuk tahun ini inflasi utama diperkirakan berada di antara 4,5% dan 5,5%, sementara inflasi inti diproyeksikan rata-rata antara 2,5% dan 3,5%.

Pergerakan bursa Asia-Pasifik pada hari ini cenderung berlawanan arah dengan bursa Eropa pada hari ini dan bursa Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu kemarin, di mana investor masih khawatir bahwa resesi ekonomi global berpotensi kembali terjadi.

Pada hari ini, bursa Eropa dibuka cenderung kembali melemah. Indeks Stoxx 600 di awal sesi merosot 0,8%, DAX Jerman terkoreksi 0,41%, CAC Prancis terdepresiasi 0,8%, dan FTSE Inggris terpangkas 0,51%.

Sedangkan di bursa AS atau Wall Street kemarin, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,15%, S&P 500 turun 0,13%, dan Nasdaq Composite juga terkoreksi 0,15%.

Bahkan pada hari ini, kontrak berjangka (futures) indeks bursa AS cenderung kembali bergerak di zona merah.

Kekhawatiran resesi semakin menguat setelah ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell dalam pidato di depan senat AS mengatakan bahwa kemungkinan resesi itu ada.

Powell juga memastikan The Fed akan membawa inflasi ke level 2%. Pernyataan Powell tersebut menjadi sinyal jika The Fed akan menjadi lebih agresif ke depan meskipun hal tersebut bisa berbalik pada pelemahan ekonomi Paman Sam. Powell menambahkan menurunkan inflasi tanpa risiko resesi kini menjadi lebih menantang.

"Kami memahami persoalan besar yang disebabkan inflasi. Kami sangat berkomitmen untuk menurunkan inflasi. Kami tidak bermaksud untuk memprovokasi resesi. Namun, sangat penting untuk menstabilkan harga," tutur Powell di depan senat AS, seperti di kutip CNBC International.

Sebagai catatan, inflasi AS terbang 8,6% pada Mei tahun ini, yang menandai rekor tertinggi sejak Desember 1981.

The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan mereka sebanyak tiga kali pada 2022, termasuk kenaikan sebesar 75 basis poin (bp) pada pekan lalu. Namun, Powell mengakui jika inflasi masih terlalu tinggi dan perlu segera dijinakkan.

Di lain sisi, suramnya Wall Street kemarin juga dipengaruhi anjloknya harga minyak mentah. Pada perdagangan kemarin, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) anjlok 1,2% menjadi US$ 108,18/barel, sedangkan jenis Brent ambles 1,2% ke US$ 113,32/barel.

Harga minyak ambles karena ada kekhawatiran ekonomi global akan melambat sehingga permintaan akan minyak turun.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular