
Harga Minyak Mentah Amburadul, Rupiah Bisa Melesat Lagi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuannya 3,5% pada pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Kamis kemarin. Meski demikian, rupiah masih mampu mempertahankan penguatan 0,2% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.845/US$.
Keputusan tersebut diambil karena inflasi di dalam negeri yang masih terkendali, dan nilai tukar rupiah yang pelemahannya tidak terlalu besar.
Meski demikian, BI memberikan sinyal suku bunga akan dinaikkan ketika inflasi inti mulai menanjak.
Hingga Mei, inflasi inti masih di 2,58%, di bawah titik tengah sasaran inflasi BI yang 2-4%.
"BI masih melihat, terus mengamati pengaruh dampak ke inflasi pangan,administered prices,dan lakukan langkah-langkah menjaga confidence masyarakat. BI siap untuk menyesuaikan kebijakan suku bunga apabila ada tanda-tanda kenaikan inflasi inti," ungkap Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo.
Sementara itu harga minyak mentah yang dalam tren menurun memberikan sentimen positif bagi rupiah. Minyak Brent kemarin turun 1,7% ke US$ 110.05/barel, dan dalam dua pekan ambrol lebih dari 10%.
Minyak West Texas Intermediate (WTI) bahkan lebih parah lagi. Pada perdagangan Kamis WTI turun 1,8% ke US$ 104,27/barel, dalam dua pekan jeblok lebih dari 14%.
Penurunan harga minyak mentah tentunya bisa mengurangi beban impor Indonesia. Dengan demikian, tekanan bagi pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak semakin berkurang, dan inflasi bisa lebih terjaga.
Dengan inflasi yang terjaga, daya beli masyarakat bisa menguat dan momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia berlanjut.
Dengan inflasi yang tetap terjaga, BI juga punya ruang untuk mempertahankan suku bunga lebih lama lagi, sehingga bisa lebih memacu perekonomian
Secara teknikal, rupiah yang disimbolkan USD/IDR sejak 15 Juni lalu menembus ke atas resisten kuat di kisaran Rp 14.730/US$ yang merupakan Fibonacci Retracement 61,8%. Sejak saat itu, rupiah terus mengalami tekanan.
Fibonacci Retracement tersebut ditarik dari titik terendah 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$ dan tertinggi 23 Maret 2020 di Rp 16.620/US$.
Rupiah kini semakin menjauhi level tersebut, yang memberikan tekanan semakin besar.
![]() Foto: Refinitiv |
Resisten terdekat berada di kisaran Rp 14.860/US$, jika ditembus rupiah berisiko melemah ke Rp 14.880/US$ hingga 14.900/US$.
Sementara itu indikator Stochastic pada grafik harian kini bergerak naik dan mencapai wilayah jenuh beli (overbought).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
![]() Foto: Refinitiv |
Stochastic yang berada di wilayah jenuh beli memberikan peluang penguatan rupiah. Stochastic pada grafik 1 jam bergerak turun tetapi belum mencapai wilayah jenuh jual.
Rupiah kemarin berhasil menembus support di kisaran Rp 14.840/US$, dan menguat ke Rp 14.800/US$, sesuai dengan target.
Setelah menyentuh level tersebut penguatan rupiah akhirnya terpangkas. Hari ini, selama bertahan di bawah Rp 14.840/US$, rupiah berpeluang menguji lagi Rp 14.800/US$. Jika ditembus, ada peluang ke Rp 14.780/US$ - Rp 14.770/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
