Jeblok Nyaris 2% Pekan Lalu, Rupiah Kini Bergerak Liar
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah terpuruk nyaris 2% melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan lalu hingga menyentuh level terlemah sejak Oktober 2020. Tekanan bagi rupiah masih belum berakhir, pada awal perdagangan Senin (20/6/2022) kembali mengalami pelemahan.
Melansir data Refinitiv, rupiah sebenarnya membuka perdagangan dengan menguat tipis 0,01% ke Rp 14.820/US$, dan sempat terakselerasi menjadi 0,14% ke Rp 14.800/US$. Setelahnya, rupiah berbalik melemah 0,06% ke Rp 14.830/US$.
Pergerakan volatil rupiah pagi ini sudah terindikasi dari pasar non-deliverable forward (NDF). Tenor 1 pekan mengalami pelemahan, sementara tenor yang lebih panjang mayoritas mengalami penguatan ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan Jumat.
Periode | Kurs Jumat (17/6) pukul 15:17 WIB | Kurs Senin (20/6) pukul 8:58 WIB |
1 Pekan | Rp14.816,0 | Rp14.834,8 |
1 Bulan | Rp14.843,8 | Rp14.830,0 |
2 Bulan | Rp14.853,2 | Rp14.844,0 |
3 Bulan | Rp14.880,1 | Rp14.864,0 |
6 Bulan | Rp14.923,0 | Rp14.900,0 |
9 Bulan | Rp14.959,0 | Rp14.965,0 |
1 Tahun | Rp15.062,4 | Rp15.102,0 |
2 Tahun | Rp15.384,0 | Rp15.390,0 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Tekanan bagi rupiah masih datang dari eksternal, kebijakan bank sentral AS (The Fed) yang agresif menaikkan suku bunga menimbulkan pertanyaan apakah langkah yang diambil tepat.
Hal tersebut masih menjadi perhatian di pekan ini, sebab ketua The Fed Jerome Powell akan memberikan testimoninya di hadapan Kongres AS.
Resesi di Amerika Serikat sepertinya tak terhindarkan, tetapi pasar juga melihat kemungkinan The Fed salah mengambil kebijakan.
"Apa yang dikhawatirkan pasar, bahkan sebelum terjadi resesi adalah kebijakan yang salah, bahwa The Fed merusak sesuatu. Pasar mempertanyakan pernyataan perekonomian yang dikatakan kuat," kata QuincyKrosby, kepala ahli strategi ekuitas di LPL Financial, sebagaimana diwartakan CNBC International, Kamis (16/6/2022).
Meski demikian. Menteri Keuangan AS yang juga mantan ketua The Fed, Janet Yellen, menyatakan resesi masih bisa dihindari, tetapi pelambatan ekonomi pasti akan terjadi karena mengalami transisi ke pertumbuhan yang stabil.
"Saya memperkirakan ekonomi akan melambat karena transisi ke pertumbuhan yang stabil, tetapi saya tidak berpikir resesi sama sekali tak terhindarkan," katanya kepada ABC, seperti dikutip AFP, Minggu (19/6/2022).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)