Era Suku Bunga Tinggi Yang Ditakutkan Bu Sri Mulyani

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
18 June 2022 18:40
Bendera Amerika Serikat
Foto: Bendera Amerika Serikat (Photo by Win McNamee/Getty Images)

Jakarta,CNBC Indonesia - Pada akhir Mei lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan adanya tiga ancaman terhadap ekonomi global yakni inflasi tinggi, suku bunga tinggi, dan pertumbuhan ekonomi melemah. Lantas, RI sudah di mana?

Pada 28 Mei 2022, Sri Mulyani mengutarakan ancaman yang disebut "triple challenge" yang berpotensi menghantui ekonomi dunia.

Jika mengacu kepada kiblat ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS), dua dari tiga ancaman telah terlihat.

Pasalnya, rilis inflasi AS per Mei yang kembali melonjak ke 8,6% secara tahunan (yoy) dan sekaligus menjadi yang tertinggi dalam 41 tahun terakhir dipicu oleh kenaikan harga energi dan pangan.

Dalam setahun secara agregat biaya energi di AS meningkat 34,6% dengan kontributor terbesar yakni BBM (fuel oil) yang naik 106,7% diikuti oleh bensin dan biaya utilitas gas.

Sedangkan secara tahunan kenaikan makanan relatif kecil, tetapi masih di atas tingkat inflasi yakni 10,1% dengan daging, ikan dan telur menjadi salah satu komponen yang mengalami kenaikan tertinggi.

Hal tersebut menekan bank sentral utama yakni Federal Reserve/The Fed untuk bertindak lebih agresif dengan menaikkan suku bunga acuannya menjadi 75 basis poin (bps) menjadi 1,5%-1,75% dan menjadi kenaikan terbesar sejak 1994.

Tidak sampai di situ, keagresifan The Fed juga diprediksikan akan terus berlanjut di setiap pertemuan di Juli hingga September.

Berdasarkan Fed Dot Plot yang dirilis setiap akhir kuartal, mayoritas anggota pembuat kebijakan moneter (The Fed) melihat suku bunga di akhir tahun berada di 3,4% atau di rentang 3,25% - 3,5%.

Tingkat suku bunga tersebut lebih tinggi 1,5% ketimbang Fed Dot Plot edisi Maret.

Sementara itu, pasar memprediksikan suku bunga akan lebih tinggi tahun ini di 4%.

"Pasar melihat suku bunga berada di kisaran 3,75% - 4% di akhir tahun, tetapi pernyataan Powell membuat tenang dan membebani dolar AS," kata analis ANZ Bank dalam sebuah catatan sebagaimana dikutip Reuters.

Ketika bank sentral menaikkan suku bunga acuan tentunya juga akan meningkatkan suku bunga kredit. Akibatnya, ekspansi dunia usaha akan tersendat, begitu pula dengan tingkat konsumsi. Ketika tingkat konsumsi masyarakat menurun, maka ekonomi akan melambat.

Rilis data ekonomi di AS yang telah dirilis pekan ini menunjukkan tanda-tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi. Meski AS belum secara resmi masuk ke jurang resesi.

Pertama, dari sektor perumahan pada Mei terjadi penurunan pembangunan rumah hingga 14,4%, padahal saat ini di Amerika Serikat sedang terjadi kelangkaan rumah bahkan dikatakan pada level kronis.

Kedua, dari sektor manufaktur di wilayah Philadelpiha kembali mengalami kontraksi, pengajuan klaim tunjangan pengangguran mingguan juga lebih tinggi dari perkiraan.

Ketiga, kenaikan harga yang tinggi juga membuat daya beli masyarakat AS ikut terdampak yang tercermin dari penjualan ritel yang terkontraksi 0,3% bulan Mei lalu.

Ketika tingkat keyakinan konsumen merosot, maka belanja rumah tangga yang merupakan tulang punggung perekonomian juga akan menurun. Hal ini berdampak buruk pada perekonomian Amerika Serikat.

Banyak pelaku pasar yang khawatir ekonomi AS akan mengalami resesi dan parahnya bisa terjadi stagflasi. Bahkan, Bank Dunia dalam laporan terbarunya menyebutkan Amerika Serikat (AS) yang tumbuh pada 2021 sebesar 5,7% harus rela turun menjadi 2,5% tahun ini.

Saat ini, Indonesia memang belum mengalami 'badai inflasi', meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis data inflasi per Mei yang mencapai 3,55% (yoy) atau lebih tinggi dari bulan sebelumnya di 3,47%.

Namun, angka inflasi tersebut masih berada di target Bank Indonesia di 2-4%. Sehingga, urgensi BI untuk menaikkan suku bunganya belum mendesak.

TIM RISET CNBC INDONESIA

 


(aaf/aaf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Inflasi Amerika Susah Turun, Resesi Bakal Panjang dan Parah?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular