Pangkas Koreksi! Syukur IHSG Gak Jadi Jebol 6.900 Nih

Putra, CNBC Indonesia
Jumat, 17/06/2022 15:22 WIB
Foto: Suasana Bursa Efek Indonesia (BEI). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 1,61% di 6.936,97 pada perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (16/6/2022) setelah sempat terkoreksi lebih dari 2% hingga tinggalkan kisaran level 6.900.

Sejak awal perdagangan IHSG langsung dibuka terkoreksi nyaris 1% dan meninggalkan level psikologis 7.000. Di sepanjang perdagangan, IHSG terus tertekan.

Adanya outflow dana asing turut memicu pelemahan indeks. Data perdagangan mencatat asing net sell Rp 1,2 triliun di pasar reguler.


Saham yang paling banyak dilepas asing adalah saham MDKA dan BBCA dengan net sell masing-masing Rp 517 miliar dan Rp 154 miliar. Sedangkan saham paling banyak diborong asing pada perdagangan hari ini adalah saham BRMS dan ADRO dengan net buy Rp 78 miliar dan Rp 73 miliar. Dalam sepekan terakhir IHSG mencatatkan pelemahan 2,11% dan investor asing juga turut mencatatkan net sell sebesar Rp 1,94 triliun di pasar reguler.

Semalam Wall Street juga mengalami penurunan yang tajam. Indeks Dow Jones ambles 2,42%. Indeks S&P 500 turun lebih dalam dengan koreksi 3,25%.

Namun yang paling tragis tetap indeks saham acuan teknologi AS yakni Nasdaq Composite yang ambruk sampai 4,08%. Sentimen inflasi tinggi dan pengetatan moneter agresif yang dapat memicu resesi maish dominan di kalangan pelaku pasar.

The Fed memang menaikkan suku bunga acuan 75 bps di bulan Juni 2022 sesuai dengan perkiraan pasar. Namun inflasi yang tinggi masih menjadi hantu untuk perekonomian dan pasar keuangan.

Pernyataan bos The Fed Jerome Powell terkait ekonomi AS yang masih solid pun mendapat banyak kritik pedas dari analis dan pelaku pasar. Dalam konferensi pers-nya kemarin lusa, pria yang akrab disapa Jay Powell tersebut menekankan bahwa Fed tidak berencana untuk membuat kebijakan yang memicu resesi.

Lebih lanjut, Powell mengatakan kepada awak media bahwa tidak ada tanda-tanda pelemahan ekonomi yang tampak. Namun pernyataan Powell tersebut berbanding terbalik dengan data di lapangan. Pertama dari sisi inflasi, kenaikan harga sudah menyentuh laju tertingginya dalam 41 tahun terakhir.

Naiknya harga barang dan jasa di perekonomian tersebut membuat sentimen masyarakat memburuk yang dibuktikan dengan indeks keyakinan konsumen yang menurun.

Selain itu kenaikan harga yang tinggi juga membuat daya beli masyarakat AS ikut terdampak yang tercermin dari penjualan ritel yang terkontraksi 0,3% bulan Mei lalu.

Banyak pelaku pasar yang khawatir ekonomi AS akan mengalami resesi dan parahnya bisa terjadi stagflasi seperti yang dialami Paman Sam kurang lebih setengah abad lalu.

Chief Equity Strategist Quincy Krosby LPL Financial mengatakan bahwa Fed bisa saja membuat kesalahan dalam pengambilan kebijakan (policy error).

Lebih lanjut Krosby juga mengungkapkan bahwa The Fed tidak memberikan arahan yang jelas tentang kenaikan suku bunga di bulan Juli nanti, apakah dinaikkan 50 bps atau sama dengan Juni 2022 sebesar 75 bps.

Guidance yang tidak jelas dari Powell serta komentarnya tentang kondisi perekonomian yang tidak sesuai kenyataan membuat pasar pun dibuat galau dan bergerak dengan volatilitas tinggi.

Sebagai kiblat pasar keuangan dunia, wajar jika apa yang terjadi di Wall Street akan turut berdampak ke berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia dan pasar sahamnya.


(trp)
Saksikan video di bawah ini:

Video: PHK Mengancam, Saham Ini Bisa Jadi Sumber Cuan Darurat