
Inflasi, Inversi Hingga Resesi! Rupiah Anjlok Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali jeblok melawan dolar Amerika Serikat pada perdagangan Selasa (14/6/2022) setelah kemarin mencatat kinerja harian terburuk sejak Februari 2021. Sinyal resesi di Amerika Serikat yang semakin kuat membuat pelaku pasar beralih ke aset aman (safe haven) seperti dolar AS, yang membuat rupiah makin terpuruk.
Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung melemah 0,15% ke Rp 14.700/US$.
Tanda-tanda rupiah bakal melemah sudah terlihat sejak pagi tadi, bahkan berisiko semakin terpuruk lagi. Pergerakannya di pasar non-deliverable forward jauh lebih lemah pagi ini ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan kemarin.
Periode | Kurs Senin (13/6) pukul 15:17 WIB | Kurs Selasa (14/6) pukul 8:52 WIB |
1 Pekan | Rp14.693,2 | Rp14.761,5 |
1 Bulan | Rp14.714,0 | Rp14.764,0 |
2 Bulan | Rp14.730,1 | Rp14.781,0 |
3 Bulan | Rp14.752,2 | Rp14.800,0 |
6 Bulan | Rp14.815,0 | Rp14.861,0 |
9 Bulan | Rp14.898,4 | Rp14.898,4 |
1 Tahun | Rp14.983,5 | Rp15.070,0 |
2 Tahun | Rp15.395,0 | Rp15.451,0 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot.
Isu resesi yang akan terjadi di Amerika Serikat semakin menguat setelah kembali munculnya inversi yield Treasury.
Inversi tersebut terjadi setelah yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun, meski hanya berlangsung sesaat. Dalam kondisi normal, yield tenor lebih panjang akan lebih tinggi, ketika inversi terjadi posisinya terbalik.
Sebelumnya inversi juga terjadi di bulan April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Amerika Serikat.
Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).
Setelah rilis riset tersebut, inversi yield terjadi lagi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Di tahun ini inversi kembali muncul. Kali ini penyebabnya inflasi yang sangat tinggi, serta bank sentral AS (The Fed) yang agresif menaikkan suku bunga.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS pada Mei 2022 melesat 8,6% year-on-year (yoy). Inflasi tersebut naik dari bulan sebelumnya 8,3% (yoy) dan menjadi rekor tertinggi sejak 1981. Kemudian inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan naik 6% (yoy).
Ketika inflasi tinggi, maka daya beli masyarakat akan menurun. Konsumsi rumah tangga yang merupakan tulang punggung perekonomian akan terpukul.
Guna meredam inflasi tersebut, The Fed akan sangat agresif menaikkan suku bunga. Di akhir tahun ini, suku bunga The Fed diperkirakan berada di 2,75% - 3%.
Suku bunga berada dalam posisi netral, artinya tidak memacu pertumbuhan ekonomi tetapi juga tidak melambat diperkirakan berada di 2,5%. Artinya jika suku bunga The Fed di atas itu, maka perekonomian bisa melambat, sebab ekspansi dunia usaha dan konsumen rumah tangga akan semakin tertahan.
Seandainya dengan suku bunga tinggi inflasi masih belum melandai, maka Amerika Serikat terancam kembali mengalami resesi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
