Terungkap, Penyebab Kenaikan Yield SBN & Treasury AS
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) terpantau melemah pada perdagangan Senin (13/6/2022) siang, meski sentimen pasar global pada hari ini cenderung mengarah negatif.
Per pukul 12:00 WIB, berdasarkan data dari Refinitiv, imbal hasil (yield) SBN hampir seluruhnya mengalami penguatan, menandakan bahwa investor masih melepasnya. Hanya SBN tenor 1 dan 25 tahun yang yield-nya cenderung stagnan.
Yield SBN tenor 1 tahun stagnan di 3,978% dan yield SBN berjatuh tempo flat di 7,538.
Sementara, untuk yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara menguat 7,4 basis poin (bp) ke 7,294% pada perdagangan hari ini.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Sementara itu dari Amerika Serikat (AS), yield obligasi pemerintah (US Treasury) semakin tinggi pada siang hari ini waktu Asia.
Dilansir dari CNBC International pada pukul 12:30 WIB, yield Treasury tenor 10 tahun cenderung naik 1,9 bp ke 3,176%, sedangkan yield Treasury tenor 2 tahun menguat signifikan 10,2 bp ke 3,151%.
Investor khawatir dengan inflasi AS yang kembali memanas pada Mei lalu. Padahal sebelumnya, investor memperkirakan bahwa inflasi periode Mei lalu cenderung melandai, di mana mereka melihat sebelumnya pada inflasi periode April. Tetapi, ekspektasi investor pun meleset.
Bahkan kini, investor memperkirakan bahwa potensi resesi di AS semakin membesar dengan kembali tingginya inflasi di Negeri Paman Sam.
Pada Mei 2022, inflasi Negeri Paman Sam tercatat 8,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Ini adalah rekor tertinggi sejak 1981.
Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm) inflasi Negeri Paman Sam naik 1% dan inflasi inti 0,6% (mtm).
"Laju inflasi dalam beberapa bulan terakhir lebih 'panas' dari perkiraan. Sepertinya ini menjadi pengingat bahwa inflasi masih akan terus bersama kita dalam waktu yang lebih lama," kata Michael Sheldon, Chief Investment Officer di RDM Financial Group yang berbasis di Connecticut, seperti dikutip dari Reuters.
Harga energi berkontribusi besar terhadap kenaikan inflasi. Sepanjang Mei harga energi naik 3,9% dari bulan sebelumnya. Sementara dibandingkan Mei 2021, harga energi melonjak hingga lebih dari 34%.
Dengan harga minyak mentah yang masih tinggi saat ini, ada kekhawatiran inflasi masih akan terus meninggi. Ketika inflasi akan terus menanjak, maka konsumsi rumah tangga, salah satu tulang punggung perekonomian, berisiko terpukul.
Dengan data inflasi terbaru yang kembali melonjak, bahkan lebih besar dari periode Maret lalu, membuat pasar semakin yakin bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga secara agresif.
Mengutip CME FedWatch, peluang kenaikan Federal Funds Rate sebesar 50 basis poin (bp) menjadi 1,25-1,5% adalah 76,8%. Bahkan, kenaikan 75 bp ke 1,5%-1,75% juga masuk perhitungan dengan kemungkinan 23,2%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)