Taktik Putin Melempem, Rubel Jadi Senjata Makan Tuan?

Teti Purwanti, CNBC Indonesia
Senin, 13/06/2022 08:05 WIB
Foto: Ilustrasi mata uang Rusia rubel. REUTERS / Maxim Shemetov

Jakarta, CNBC Indonesia - Semenjak serangan Rusia ke Ukraina banyak juga gejolak yang dirasakan oleh pihak Rusia. Di sisi lain, ada pula dampak positifnya yakni menguatnya Rubel Rusia terhadap dolar yang membuat Rubel menjadi jadi mata uang terkuat.

Namun ternyata penguatan Rubel sudah mencapai puncak dan mulai berdampak "tidak sehat" terhadap negara yang dipimpin Putin tersebut.

Kebijakan Presiden Rusia Vladimir Putin dan bank sentralnya (Central Bank of Russia/CBR) untuk meredam penguatan rubel masih belum sukses. Sepanjang pekan lalu, rubel justru menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS).


Bukan apa-apa, nilai tukar rubel yang terlalu kuat justru berdampak buruk bagi perekonomian Rusia.

"Semakin kuat nilai tukar maka defisit anggaran akan semakin besar. Penguatan itu akan mempersulit para eksportir, menaikkan biaya dan mengurangi pendapatan," kata Evgeny Kogan, profesor di Higher School of Economic di Moskow, sebagaimana dilansir Bloomberg, Senin (23/5/2022).

Menurut Kogan, nilai tukar rubel yang mendukung perekonomian berada di kisaran RUB 78 - 80/US$.

Sementara itu di pekan lalu, rubel melesat 8,4% ke RUB 55,75/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv. Rubel kini mendekati lagi titik terkuat 7 tahun di RUB 51,5/US$ yang dicapai pada 25 Mei lalu.

Dimitry Peskov, juru bicara Kremlin mengatakan apresiasi nilai tukar rubel saat ini menjadi topik utama diskusi Presiden Putin dengan para penasehat ekonominya.

"Penguatan nilai tukar rubel menjadi perhatian khusus bagi pemerintah," kata Peskov, sebagaimana dilansir Bloomberg, Rabu (25/5/2022).

Presiden Putin pun bertindak, kebijakan capital control mulai dilonggarkan. Perusahaan Rusia yang sebelumnya diwajibkan mengkonversi valuta asingnya sebanyak 80% menjadi rubel, kini dikurangi menjadi 50%. Keputusan tersebut sudah ditandatangani Kamis (9/6/2022).

"Keputusan tersebut adalah ilustrasi yang bagus, menunjukkan jika nilai tukar rubel berada di bawah RUB 60/US$, makan akan berdampak buruk ke eksportir, serta anggaran negara," kata Evgeny Suvorov, analis di Centro Credit Bank, sebagaimana dilansir Reuters.

Menteri Keuangan Rusia, sebagaimana dilaporkan Wall Street Journal mengatakan pelonggaran tersebut dilakukan untuk menjaga stabilitas rubel dan mencapai kecukupan likuiditas valuta asing di pasar domestik. Ia juga menyatakan, nilai tukar rubel sudah mencapai puncaknya.

Namun nyatanya, rubel masih terus menguat. Bahkan CBR yang kembali memangkas suku bunga pada Jumat (10/6/2022) juga belum mampu membuat rubel berbalik melemah.

Rubel masih kokoh menjadi mata uang terbaik di dunia, penguatannya sepanjang tahun ini lebih dari 28%.

CBR bawah pimpinan Elvira Nabiullina pada pengumuman kebijakan moneter 2 hari lalu memangkas suku bunga sebesar 150 basis poin ke 9,5%. Suku bunga tersebut sudah sama sebelum perang Rusia - Ukraina pecah.

Sejauh ini, CBR sudah memangkas suku bunga sebanyak 4 kali dengan total 1.050 basis poin, dari sebelumnya 20%.

Inflasi yang menurun menjadi alasan CBR terus memangkas suku bunga.

"Penurunan inflasi lebih cepat dari prediksi, begitu juga kemerosotan ekonomi lebih kecil dari perkiraan di bulan April lalu," kata CBR dalam keterangan resminya.

"Data terbaru menunjukkan pertumbuhan inflasi Mei dan awal Juni sudah rendah. Ini terjadi akibat pergerakan nilai tukar rubel dan penurunan demand konsumen," tambah CBR.

CBR akan kembali mengadakan rapat kebijakan moneter pada 22 Juli nanti, dan tidak menutup kemungkinan suku bunga kembali dipangkas jika rubel masih terus menguat. 


(vap/vap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Menkeu Targetkan PDB RI Capai 5,8% di 2026