Mengulas Kinerja Bank Digital, Membaik atau Justru Suram?
Jakarta, CNBC Indonesia - Janji disrupsi keuangan menggunakan teknologi finansial membuat keberadaan bank digital di Tanah Air makin hari makin bertambah banyak. Namun apakah ambisi untuk melakukan penetrasi tinggi populasi yang masih 'diasingkan' oleh perbankan konvensional tercermin positif dalam kinerja keuangan perusahaan?
Berdasarkan kinerja keuangan lima emiten perbankan digital paling awal, terbesar dan dekat di telinga publik, terlihat bahwa ada perbaikan signifikan dari kinerja dan operasi bank digital, meski dalam beberapa aspek masih relatif buruk.
Secara rinci berikut kondisi dari lima emiten perbankan digital di Tanah Air.
Pendapatan bunga naik
Dari sisi top line, kinerja emiten perbankan digital mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Secara total pendapatan yang diperoleh dari bunga atau sebagai mudharib (syariah) naik dua kali lebih dari periode yang sama tahun lalu, meskipun satu emiten mencatatkan penurunan kinerja.
Kenaikan tertinggi dicatatkan oleh Bank Jago (ARTO) yang melesat 547%, disusul oleh Allo Bank Indonesia (BBHI) dan Bank Neo Commerce (BBYB) masing-masing tumbuh 252% dan 242%.
Kenaikan fantastis di tiga emiten tersebut terjadi karena basis awal yang relatif rendah, yang mana dari ketiganya pendapatan bunga bersih terbesar di kuartal pertama 2021 hanya Rp 52,60 miliar.
Selanjutnya Bank Aladin Syariah (BANK) yang meski pendapatannya tumbuh 34% kuartal pertama tahun ini, akan tetapi secara nominal merupakan yang terkecil atau hanya sejumlah Rp 12,09 miliar.
Terakhir ada emiten bank digital milik Bank BRI, Bank Raya Indonesia (AGRO), menjadi satu satunya yang mencatatkan kinerja negatif. Pendapatan bunga AGRO turun 12% secara tahunan (yoy), meskipun secara nominal merupakan yang kedua terbesar setelah ARTO.
Laba masih belum maksimal
Meski pendapatan naik, kondisi bottom line perusahaan masih belum maksimal, di mana secara agregat keseluruhan, emiten bank digital masih mengalami kerugian dan angkanya membengkak dari semula Rp 64,70 miliar kini menjadi Rp 319,42 miliar.
Rugi yang bertambah besar ini porsi paling besar disumbang oleh emiten bank digital milik fintech Akulaku. BBYB memang diketahui merupakan salah satu yang paling agresif melakukan penetrasi pasar dengan menawarkan bunga yang cukup tinggi.
Bank Aladin juga masih membukukan kerugian yang nilainya bertambah besar, sementara ARTO mampu membalikkan keadaan dari semula rugi menjadi untung.
Adapun dua emiten yang mengalami pertumbuhan laba signifikan adalah AGRO dan BBHI yang mana masing-masing naik 167% dan 747%. Selain mencatatkan peningkatan terbesar, secara nominal laba BBHI juga yang paling besar di antara lima emiten tersebut, walaupun angkanya masih di bawah Rp 100 miliar.
Modal inti naik pasca right issue
Kondisi likuiditas emiten bank mini semakin membaik, khususnya bagi yang telah melakukan rights issue untuk memenuhi kewajiban minimum yang disyaratkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dua emiten yang melakukan rights issue pada kuartal pertama tahun ini mencatatkan kenaikan modal inti fantastis. Allo Bank yang menggaet konglomerasi bisnis nasional dan multinasional mencatatkan kenaikan modal inti ribuan persen dari semula modal inti (tier 1) hanya Rp 266 miliar kini menjadi Rp 6,12 triliun. Sementara itu modal inti BBYB juga melesat naik 127% menjadi Rp 2,33 triliun pasca rights issue.
ARTO masih menjadi emiten bank digital dengan modal inti terbesar yakni Rp 7,60 triliun, meskipun angkanya turun tipis.
Selain BBYB yang masih belum memenuhi ketentuan minimum modal inti bank digital yang disyaratkan sebesar Rp 3 triliun pada akhir tahun ini, AGRO dan Bank Aladin juga mengalami hal serupa. Bahkan nama yang terakhir disebutkan modal intinya hanya Rp 1 triliun. Artinya ketiga emiten ini harus menggalang dana baik itu dari rights issue atau private placement agar dapat memenuhi aturan OJK
Dana pihak ketiga stagnan
Dari lima emiten tersebut, secara total dana pihak ketiga (DPK) turun 5,85% menjadi Rp 26,89 triliun. Hal ini karena Bank Raya yang mencatatkan DPK tertinggi kuartal pertama tahun ini turun nyaris seperempat menjadi Rp 10,15 triliun. Bank Aladin meski hanya berkurang Rp 810 miliar, tapi pengurangan tersebut setara dengan 78% DPK periode yang sama tahun lalu.
Dari pojok berbeda, emiten dengan tingkat penetrasi tinggi adalah yang lebih agresif menawarkan bunga dan melakukan promosi secara masif. BBYB, ARTO dan BBHI masing-masing mengalami kenaikan DPK 17%, 14% dan 31%.
Meski mencatatkan kenaikan tertinggi, DPK Allo Bank hanya lebih baik dari Bank Aladin saja.
Kredit macet berkurang, kecuali ARTO
Salah satu risiko terbesar dari bank digital adalah terkait kelancaran pembayan atas pinjaman yang diberikan. Hal ini lantaran segmen pasar yang disasar juga relatif berbeda dari bank umum konvensional dengan target utama merupakan populasi yang masih 'diasingkan' oleh perbankan konvensional.
Mereka yang memiliki akses terbatas tentu memiliki risiko yang relatif tinggi, mengingat saat ini masih belum dirangkul sepenuhnya oleh bank konvensional - terlepas juga dari keterbatasan infrastruktur. Akan tetapi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, rasio kredit macet di bank digital kuartal pertama tahun ini turun signifikan, kecuali ARTO yang tercatat naik.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan menyasar pasar yang tepat, risiko akan kredit macet oleh unbanked population dapat ditekan, sehingga likuiditas dan profitabilitas perusahaan dapat terjaga.
Dengan kondisi yang telah disebutkan di atas, tampaknya masa depan emiten bank digital masih cerah. Selain kinerja bottom line yang harus secara perlahan diperbaiki, metrik lain memberikan gambaran positif akan kondisi bank digital saat ini dan potensinya di masa depan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(fsd/fsd)