Rupiah Libas Dolar AS Lagi, Nyaris Tembus Rp 14.400/US$
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melesat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (3/6/2022) hingga mendekati level Rp 14.400/US$. Rupiah mendapat sentimen positif dari dalam negeri, sementara indeks dolar AS yang kembali menurun membuatnya semakin leluasa menguat.
Begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung melesat 0,41% ke Rp 14.420/US$. Level tersebut merupakan yang terkuat sejak 28 April lalu. Seiring berjalannya waktu, penguatan rupiah terpangkas berada di Rp 14.435/US$ atau menguat 0,31% pada pukul 9:05 WIB.
Tanda-tanda rupiah akan menguat sudah terlihat sebelum pembukaan perdagangan, di mana kurs non-deliverable forward (NDF) yang posisinya lebih kuat ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan Kamis kemarin.
Inflasi di Indonesia yang melandai memberikan sentimen positif ke rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin melaporkan inflasi inti bulan Mei melambat menjadi 2,58% year-on-year (yoy), dari bulan sebelumnya 2,6% (yoy).
Inflasi inti merupakan acuan Bank Indonesia dalam menetapkan kebijakan moneter, dengan mulai melandai maka tekanan untuk menaikkan suku bunga juga tidak besar. Dengan suku bunga acuan di tahan di rekor terendah 3,5%, tentunya akan membantu pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, indeks dolar AS kemarin merosot 0,66% dan hari ini berlanjut lagi 0,16%. Sentimen pelaku pasar yang membaik dan kembali ke aset-aset berisiko memberikan tekanan bagi dolar AS.
"Ada beberapa faktor yang membuat dolar AS tertekan, tetapi sebagian besar merupakan sentimen terhadap risiko yang membaik," kata John Doyle, vice presiden dealing dan trading di Monex USA, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (2/6/2022).
Salah satu alasan membaiknya sentimen pelaku pasar yakni, tekanan global berupa kenaikan harga energi yang diekspektasikan berkurang. Sebab Organisasi Negara Pengekspor Minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) memutuskan menaikkan produksinya dalam rapat tadi malam (WIB).
Rapat OPEC+ yang diikuti anggota OPEC dan produsen minyak di luar OPEC, memutuskan menaikkan produksi sebesar 648.000 barel per hari pada Juli dan Agustus, mengakhiri pemangkasan produksi terbesar dalam sejarah akibat pandemi Covid-19.
Dengan kenaikan tersebut, harga minyak mentah diharapkan tidak lagi menanjak naik, sehingga tekanan inflasi akibat kenaikan harga energi menjadi berkurang. Ancaman resesi hingga stagflasi pun bisa berkurang yang membuat sentimen pelaku pasar membaik.
"Kabar Arab Saudi yang akan memproduksi lebih banyak minyak mentah serta China yang akan melonggarkan karantina wilayah membuat sentimen pelaku pasar membaik dan tidak menguntungkan bagi aset safe haven seperti dolar AS," kata Doyle.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)