
Tembus ke Bawah Rp 14.500/US$, Rupiah Bakal Melesat di Juni?

Jakarta, CNBC Indonesia - Hingga Mei lalu, rupiah membukukan pelemahan dalam 3 bulan beruntun. Tetapi, di perdagangan pertama bulan Juni, rupiah mencatat kinerja yang apik.
Pada perdagangan Kamis (2/6/2022) rupiah mampu melesat 0,69% melawan dolar Amerika Serikat ke Rp 14.480/US$, yang merupakan level terkuat sejak 28 April lalu. Penguatan harian tersebut merupakan terbesar sejak 14 Oktober lalu.
Rupiah mampu menguat setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data inflasi Indonesia periode Mei 2022. Hasilnya sesuai ekspektasi pasar, laju inflasi mengalami perlambatan secara bulanan, begitu juga dengan inflasi inti.
Kepala BPS Margo Yuwono melaporkan terjadi inflasi 0,4% pada Mei dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Melambat dibandingkan April yang sebesar 0,95%.
"Inflasi Mei, beberapa komoditas penyumbang inflasi adalah tarif angkutan udara, telur ayam ras, bawang merah, dan ikan segar," kata Margo dalam konferensi pers.
Sementara inflasi tahunan Mei 2022 dibandingkan Mei 2021 (year-on-year/yoy) tercatat 3,55%. Sebagai informasi, inflasi tahunan pada bulan sebelumnya adalah 3,47%.
Kemudian, inflasi inti, yang menjadi acuan Bank Indonesia (BI) dalam menetapkan kebijakan moneter mengalami pelambatan menjadi 2,58% (yoy), dari bulan April 2,6% (yoy).
Tanda-tanda inflasi yang melandai juga bisa memberikan sentimen positif ke pasar finansial. Sebab, tekanan bagi Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga menjadi lebih kecil.
Dengan suku bunga acuan di tahan di rekor terendah 3,5%, tentunya akan membantu pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain bank sentral AS (The Fed) akan kembali menaikkan suku bunga di bulan Juni, dengan kemungkinan sebesar 50 basis poin menjadi 1,25% - 1,5%.
Namun, pasar sepertinya sudah price in, bahkan hingga akhir tahun suku bunga The Fed sebelumnya diperkirakan akan berada di kisaran 2,75% - 3%.
Hal tersebut bisa menguntungkan rupiah, sebab dalam notula rapat kebijakan moneter The Fed yang dirilis pekan lalu terungkap terungkap para pejabat The Fed sepakat untuk menaikkan suku bunga 50 basis poin di bulan Juli dan Juli. Mereka melihat jika suku bunga segera dinaikkan, maka di sisa tahun ini The Fed akan berada di posisi yang bagus untuk menilai efek dari kenaikan suku bunga tersebut.
Artinya, ada peluang The Fed akan menunda kenaikan suku bunga untuk sementara setelah menaikkan 50 basis poin di bulan Juni dan Juli.
"Pasar mulai sedikit optimistis The Fed tidak akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga, dan beberapa aksi jual yang melanda aset berisiko, khususnya saham, mungkin telah berakhir. Hal itu memicu sedikit reli aset berisiko yang berdampak buruk bagi dolar AS," kata Ed Moya, analis senior di Oanda, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (26/5/2022).
Ahli strategi dari bank investasi JP Morgan juga melihat peluang The Fed tidak akan agresif, meski dikatakan bukan skenario yang utama.
"Itu bukan skenario dasar tim ekonomi kami, tetapi kami pikir ada peluang The Fed akan mengerek suku bunga hingga 1,75% - 2% yang merupakan kebijakan normal dan memberi peluang untuk menghentikan sementara kenaikan suku bunga dan menilai terlebih dahulu dampak kebijakannya terhadap pasar tenaga kerja dan inflasi," kata ahli strategi JP Morgan, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (26/5/2022).
Selain itu, survei terbaru yang dilakukan Reuters menunjukkan sebanyak 28 dari 44 analis memperkirakan penurunan dolar AS tersebut hanya berlangsung selama 3 bulan. Di antara 28 analis tersebut, 16 orang memperkirakan tekanan bagi dolar AS hanya akan berlangsung hingga akhir Juni.
Artinya, ada peluang dolar AS masih akan tertekan di bulan ini, yang membuka peluang penguatan rupiah.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Berpotensi ke Rp 14.350/US$
