Utang Rp 20 Triliun, Bagaimana Cara Sritex Buat Bayar?
Jakarta, CNBC Indonesia - Raksasa tekstil Tanah Air yang terancam delisting atau dihapus dari perdagangan bursa, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), masih terus berupaya menyelesaikan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan keluar dari tekanan likuiditas.
Tak tanggung-tanggung proses PKPU yang dihadapi SRIL ada tiga di yurisdiksi yang berbeda-beda mulai dari Indonesia, Singapura, hingga Amerika Serikat (AS).
Dalam laporan keuangan 2021, Sritex menyebut total kewajiban kepada pihak eksternal yang jatuh tempo dalam setahun mencapai US$ 1,43 miliar atau setara dengan Rp 20,73 triliun (kurs Rp 14.500/US$).
Kewajiban tersebut terdiri dari utang bank jangka pendek, jangka panjang namun jatuh tempo dalam setahun, obligasi, surat utang jangka menengah (MTN) dan liabilitas sewa.
Hingga akhir tahun lalu, liabilitas perusahaan tercatat sejumlah US$ 1,63 miliar (Rp 23,63 triliun), yang mana nyaris sepenuhnya merupakan kewajiban jangka pendek yang nilainya mencapai US$ 1,58 miliar. Alhasil perusahaan mengalami kekurangan modal hingga US$ 398,82 juta (Rp 5,78 triliun).
Restrukturisasi utang
Sejak tahun lalu perusahaan dan entitas anak telah berkali-kali mengalami gagal bayar (default) atau kewajiban utangnya. Pada tanggal 23 April 2021 Sritex default atas pembayaran bunga dari pinjaman sindikasi. 17 Mei 2021, Sritex kembali tidak dapat melakukan pembayaran pokok dan bunga surat utang jangka menengah (MTN) masing-masing sebesar US$ 25 juta dan US$ 725 ribu. Alhasil sejak 18 Mei 2021 SRIL resmi ditangguhkan perdagangannya di pasar modal oleh BEI
Terkait utang jumbo yang digugat di tiga yurisdiksi berbeda, Sritex dan entitas anak melakukan permohonan moratorium di Singapura dan disidangkan oleh Pengadilan Singapura pada 21 Mei 2021. Permohonan tersebut disetujui dengan moratorium ditetapkan 3 bulan hingga 21 Agustus 2021, dan kembali diperpanjang hingga 6 bulan hingga 21 Februari 2022.
Dari Negeri Paman Sam, Pada tanggal 10 Juni 2021, Pengadilan Kepailitan Amerika Serikat memberikan moratorium untuk melindungi upaya restrukturisasi perusahaan dan entitas anak.
Dari dalam Negeri, pada 6 Mei 2021 Sritex telah menerima status PKPU dengan perpanjangan terakhir hingga 25 Januari 2022.
Pada 21 Januari 2022, dilakukan pemungutan suara terhadap rencana komposisi di mana 67,39% pemberi pinjaman menyetujui rencana komposisi, mencapai persyaratan persetujuan minimal 2/3 atau sekitar 66,67% dari nilai masing-masing kelas kreditur yang memberikan suaranya dalam sidang PKPU.
Meskipun pengadilan telah menyetujui restrukturisasi utang bank jangka pendek sebagai hasil dari proses PKPU. Namun, beberapa pihak masih tidak puas dan mengajukan banding atas putusan tersebut. Citibank N.A., Indonesia dan PT Bank QNB Indonesia Tbk merupakan dua kreditur yang mengajukan banding.
Adapun upaya restrukturisasi perusahaan yang telah disetujui oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Semarang berlaku efektif sejak 25 Januari lalu.
Berikut beberapa fasilitas baru yang harus dibayarkan oleh Sritex pasca restrukturisasi dengan total nyaris mencapai Rp 20 triliun. Obligasi perusahaan dikonversi menjadi tiga yakni Tranche A, B dan C dengan rasio masing-masing 28%, 36% dan 36%.
Beberapa fasilitas dijamin baik oleh aset perusahaan atau dengan piutang usaha, sedangkan beberapa lainnya tidak dijamin. Tenor pembayaran juga bervariasi mulai dari 5 hingga 12 tahun pasca restrukturisasi berlaku efektif, dengan sebagian besar kewajiban di bayar di akhir atau mendekati akhir tenor.
Perusahaan setidaknya harus membayar kewajibannya senilai US$ 378 juta pada 2027, tambahan pelunasan US$ 485 juta pada 2031 dan US$ 489 juta pada 2034. Dari total tersebut sebanyak US$ 479 juta atau lebih dari sepertiga tidak dijamin perusahaan.
Penggalangan Dana Modal dan Aset Sponsor
Sritex dan anak usaha menyebut akan mengelola profil likuiditasnya untuk dapat mendanai pengeluaran modalnya dan mengelola utang yang jatuh tempo dengan mengatur kas dan ketersediaan pendanaan.
Carut marut likuiditas Sritex membuat perusahaan dan entitas anak secara reguler mengevaluasi proyeksi arus kas dan terus-menerus menilai kondisi pasar keuangan untuk mengidentifikasi kesempatan dalam penggalangan dana.
Dalam laporan keuangannya Sritex menyebut perusahaan akan menggalang melalui satu atau serangkaian penggalangan dana modal dengan jumlah total US$ 100 dalam 3 tahun setelah 30 Juni 2022.
Kegagalan untuk meningkatkan modal kerja yang diperlukan pada tenggat waktu yang disyaratkan akan menjadi peristiwa gagal bayar (default) berdasarkan rencana komposisi.
Berdasarkan peringkat dari PT Fitch Ratings Indonesia pada 28 April 2022, Medium Term Note dan obligasi perusahaan diafirmasi di RD (restricted default). Peringkat RD Sritex mencerminkan kegagalan pembayaran utang yang belum diselesaikan.
TIM RISET CNBC INDONESIA