
Duh! Bursa Asia Loyo Lagi Nih, Waspada Nular ke IHSG

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka terkoreksi pada perdagangan Kamis (2/6/2022), di mana investor kembali khawatir dengan kondisi global setelah sempat optimis bahwa inflasi global berpotensi melandai.
Indeks Nikkei Jepang dibuka melemah 0,4%, Hang Seng Hong Kong ambles 1,19%, Shanghai Composite China terkoreksi 0,43%, Straits Times Singapura terpangkas 0,28%, ASX 200 Australia turun 0,17%, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi 0,53%.
Dari Australia, data perdagangan periode April akan dirilis pada hari ini pukul 09:30 waktu setempat. Pasar memperkirakan ekspor Negeri Kanguru cenderung naik menjadi 0,7%, dari sebelumnya pada Maret lalu di level 0%. Sedangkan impor Negeri Kanguru diprediksi juga naik menjadi 1,1% pada April lalu.
Bursa Asia-Pasifik yang kembali terkoreksi pada hari ini terjadi karena investor kembali khawatir dengan kondisi global, meski mereka sebelumnya sempat optimis bahwa inflasi di Amerika Serikat (AS) berpotensi melandai. Namun di Eropa, inflasi justru masih memanas.
Sebelumnya pada perdagangan Rabu kemarin waktu AS, bursa saham Negeri Paman Sam (Wall Street) ditutup kembali terkoreksi, di tengah kekhawatiran akan kondisi ekonomi Negara Adidaya tersebut usai pergerakan volatil pada Mei.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,54% ke level 32.813,23, S&P 500 terkoreksi 0,75% ke posisi 4.101,23, dan Nasdaq Composite terdepresiasi 0,72% ke 11.994,46.
"Kita kemungkinan melihat volatilitas di pertengahan awal Juni, dan mungkin porsi yang lumayan sepanjang Juni, karena kita tak akan mendapati informasi yang melegakan sebelum itu," tutur Kepala Perencana Investasi SoFi Liz Young kepada CNBC International.
Kekhawatiran yang membayangi benak pasar terutama berasal dari kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang memperketat moneternya dengan menaikkan suku bunga acuan dan membalik stimulus selama pandemi.
Hari Rabu kemarin juga menjadi awal pelaksanaan rencana The Fed untuk mengurangi neraca keuangannya (balance sheet), yang telah menggelembung hingga nyaris US$ 9 triliun selama pandemi Covid-19.
Pengurangan dilakukan dengan menjual surat berharga yang sebelumnya diburu, guna menyerap likuiditas berlebih di pasar.
Di sisi lain, suku bunga acuan telah dinaikkan dua kali sepanjang tahun ini, dengan salah satu kenaikan sebesar 50 basis poin (bp). Ke depan, kenaikan suku bunga diprediksi masih terbuka guna menjinakkan inflasi.
Kecemasan akan agresivitas pengetatan moneter kian memuncak setelah Institute for Supply Management (ISM) melaporkan Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) di angka 56,1 pada Mei lalu, naik dari posisi sebulan sebelumnya sebesar 55,4.
Artinya, sektor manufaktur masih ekspansif, sehingga diprediksi kenaikan suku bunga tidak terlalu memukul sektor riil. Hanya saja, pembukaan lapangan kerja justru anjlok pada April lalu yang mengindikasikan bahwa ekonomi masih perlu traksi untuk bertumbuh.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam
