Rupiah Makin Trengginas Libas Dolar AS!
Jakarta, CBBC Indonesia - Rupiah kembali menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Senin (30/5/2022) setelah sukses mencatat penguatan 3 hari beruntun pada pekan lalu. Indeks dolar AS yang terus terpuruk, serta normalisasi likuiditas yang dilakukan Bank Indonesia (BI) terus membuat rupiah menguat.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di Rp 14.505/US$, melesat 0,48% di pasar spot.
Rupiah sudah terlihat akan menguat melihat pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) pagi ini yang lebih kuat ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan Jumat pekan lalu.
Periode | Kurs Jumat (27/5) pukul 15:13 WIB | Kurs Senin (30/5) pukul 8:57 WIB |
1 Pekan | Rp14.548,5 | Rp14.509,5 |
1 Bulan | Rp14.560,0 | Rp14.513,0 |
2 Bulan | Rp14.565,0 | Rp14.529,0 |
3 Bulan | Rp14.586,0 | Rp14.550,0 |
6 Bulan | Rp14.671,0 | Rp14.649,0 |
9 Bulan | Rp14.761,0 | Rp14.744,0 |
1 Tahun | Rp14.899,0 | Rp14.844,0 |
2 Tahun | Rp15.325,6 | Rp15.265,0 |
Indeks dolar AS yang sebelumnya berada di level terkuat dalam dua dekade terakhir berbalik merosot dalam dua pekan beruntun, nyaris sebesar 3%. Kemungkinan The Fed tidak akan terlalu agresif di tahun ini menjadi penyebabnya.
Dalam notula rapat kebijakan moneter The Fed yang dirilis pekan lalu terungkap terungkap para pejabat The Fed sepakat untuk menaikkan suku bunga 50 basis poin di bulan Juli dan Juli. Mereka melihat jika suku bunga segera dinaikkan, maka di sisa tahun ini The Fed akan berada di posisi yang bagus untuk menilai efek dari kenaikan suku bunga tersebut.
Artinya, ada peluang The Fed akan menunda kenaikan suku bunga untuk sementara setelah menaikkan 50 basis poin di bulan Juni dan Juli.
Pasca rilis notula tersebut, pasar kini melihat di akhir tahun suku bunga The Fed berada 2,5% - 2,75%. Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, probabilitasnya sebesar 58,8%, padahal pada pekan lalu ekspektasi suku bunga di 2,75% - 3% menjadi yang tertinggi probabiitasnya.
"Dolar AS kehilangan puncak akibat pandangan The Fed akan menunda kenaikan suku bunga," kata Joe Manimbo, analis pasar senior di Western Union Business Solutions, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (27/5/2022).
Selain itu, inflasi di Amerika Serikat juga mulai menunjukkan tanda-tanda melandai. Inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) di bulan April tumbuh 0,2% dari bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Meski masih menanjak, tetapi kenaikan tersebut menjadi yang terkecil sejak November 2020, dan jauh di bawah kenaikan bulan Maret sebesar 6,3%.
Jika dilihat secara tahunan (year-on-year/yoy) inflasi PCE sudah menurun di bulan April, sebesar 6,3% (yoy) dari bulan sebelumnya 6,6% (yoy). Hal tersebut memperkuat ekspektasi The Fed tidak akan sangat agresif di tahun ini.
Sementara itu pada pengumuman kebijakan moneter pekan lalu, BI mempercepat laju kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM). Untuk Bank Umum Konvensional (BUK), GWM yang saat ini 5% akan naik menjadi 6% di bulan Juni, kemudian 7,5% di bulan Juli dan 9% di bulan September.
Untuk Bank Umum Syariah (BUS) yang saat ini 4% naik menjadi 4,5% di Juni, 6% di Juli dan 7,5% di September.
Kenaikan tersebut diperkirakan akan menyerap likuiditas di perekonomian sebesar Rp 110 triliun, tetapi tidak mengurangi kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit. Artinya momentum pertumbuhan ekonomi masih akan terjaga.
"Secara keseluruhan ini memang dengan kenaikan GWM ini akan mengurangi likuiditas di perbankan sekitar Rp 110 triliun, namun rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tinggi sekira 28% sampai akhir tahun ini, masih jauh di atas rasio sebelum pandemi Covid yang sebesar 21%," jelas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Selasa (24/5/2022).
Penyerapan likuiditas tersebut diharapkan mampu membuat rupiah lebih stabil.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)