
Ratusan Triliun Rupiah Lenyap dari AS & China, Ngumpul di RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham di Amerika Serikat (AS) kerap menjadi favorit banyak orang untuk berinvestasi. Sayangnya, beberapa waktu terakhir Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) akan sangat agresif dalam menaikkan suku bunga di tahun ini. Tetapi yang menarik, pasar obligasi AS malah mengalami outflow, bahkan hingga 19 pekan beruntun.
Lazimnya, ketika The Fed menaikkan suku bunga, aliran modal akan berbondong-bondong ke Negeri Paman Sam. Obligasi AS (Treasury) dianggap sebagai aset safe haven, kenaikan suku bunga membuat imbal hasilnya (yield) biasanya akan naik dan tentunya menarik investor. Tetapi, data berkata berbeda.
Berdasarkan data dari Refinitiv Lipper, capital outflow yang terjadi dalam 19 pekan beruntun di pasar obligasi Amerika Serikat mencapai US$ 8,39 miliar atau sekitar Rp 123 triliun (kurs Rp 14.650/US$). Yield Treasury pun semakin menanjak karena banyak dilepas pelaku pasar.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika Harga turun maka yield akan naik, begitu juga sebaliknya. Saat harga turun, artinya obligasi banyak dilepas. Meski yield sudah tinggi, tetapi nyatanya belum mampu menarik inflow.
Tidak hanya Amerika Serikat, China juga mengalami hal serupa, bahkan nilainya lebih besar lagi. Wall Street Journal melaporkan hingga April pasar obligasi China mengalami capital outflow dalam 3 bulan beruntun. Nilainya mencapai US$ 45.03 miliar atau lebih dari Rp 700 triliun.
Senasib dengan China, Indonesia juga mengalami capital outflow yang masif di pasar obligasi sejak bulan Maret. Di dua bulan pertama tahun ini, sebenarnya masih mengalami inflow sekitar Rp 5 triliun. Tetapi semua berbalik memasuki bulan Maret.
Sepanjang tahun ini hingga 12 Mei lalu, total capital outflow di pasar obligasi Indonesia mencapi Rp 78,13 triliun, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.
Tidak hanya pasar obligasi, pasar saham juga dilanda aksi jual yang masif. Bursa saham AS (Wall Street) mengalami outflow dalam 6 pekan beruntun senilai US$ 2,59 miliar berdasarkan laporan Reuters.
Bursa Eropa juga cukup pasar, perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina membuat pasar sahamnya mengalami aksi jual. Secara total, Reuters melaporkan outflow di pasar saham dunia mencapai US$ 5,2 miliar.
Lantas, kemana dunia tersebut mengalir?
Saat aksi jual melanda, pasar saham Indonesia menjadi salah satu yang mendapat "durian runtuh". Sepanjang tahun ini, investor asing tercatat melakukan beli bersih sekitar Rp 63 triliun di pasar reguler, tunai dan nego.
Alhasil, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berkali-kali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, sebelum merosot di bulan Mei. Pergerakan IHSG tersebut mengabaikan Wall Street yang sudah mengalami aksi jual dalam beberapa bulan terakhir.
Meski demikian, modal yang keluar dari pasar obligasi dan saham secara global sebenarnya terbang menuju aset lain yang dianggap aman. Cash atau uang tunai, tetapi bukan sembarangan uang tunai, melainkan dolar AS.
Selain itu, aliran modal juga masuk ke emas yang merupakan safe haven. Financial Times yang mengutip data dari BlackRock melaporkan inflow ke exchange trade product (ETP) emas mencatat rekor tertinggi sepanjang masa di bulan Maret lalu.
(RCI/dhf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Wah! Tiba-tiba Awal Tahun RI Dibanjiri Dolar Senilai Rp69,7 T
