
Simak Kabar SBN Hari Ini, Mayoritas Yield Turun Lagi Nih

Jakarta, CNBCÂ Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kembali ditutup menguat pada perdagangan Selasa (24/5/2022), di tengah sikap investor yang masih cenderung bermain aman dan menghindar dari aset berisiko.
Hal ini karena mereka cenderung masih khawatir dengan kondisi perekonomian global, utamanya Amerika Serikat (AS) yang berpotensi mengalami resesi.
Investor kembali memburu SBN pada hari ini, ditandai dengan menguatnya harga dan kembali melemahnya imbal hasil (yield). Hanya SBN tenor 10, 15, dan 25 tahun yang cenderung dilepas oleh investor ditandai dengan menguatnya yield dan melemahnya harga.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara naik 2,2 basis poin (bp) ke level 7,222%, sedangkan yield SBN tenor 15 tahun menguat 3,1 bp ke level 7,441%, dan yield SBN berjatuh tempo 25 tahun naik tipis 0,1 bp ke level 7,568%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Dari Amerika Serikat (AS), investor juga cenderung mengoleksi surat utang pemerintah (US Treasury) dan mengalami pelemahan yield pada hari ini.
Berdasarkan data dari CNBC International, yield Treasury tenor 10 tahun cenderung melemah 3,7 bp ke level 2,822% pada pukul 07:08 waktu AS atau pukul 18:08 WIB, dari sebelumnya pada penutupan perdagangan Senin kemarin di level 2,859%.
Pasar keuangan global memang masih cenderung dilanda ketidakpastian akibat kondisi global yang belum menentu. Pasar saham global pun cenderung kembali dilanda aksi jual (sell-off) setelah sempat bangkit pada Senin kemarin.
Investor global masih memperdebatkan seberapa agresif bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga untuk menjinakkan inflasi yang masih buas.
The Fed telah menaikkan suku bunga dua kali pada tahun ini, dan salah satunya adalah kenaikan suku bunga sebesar 50 basis poin.
Beberapa analis juga khawatir bahwa pengetatan kondisi keuangan terlalu agresif juga berisiko membebani pertumbuhan ekonomi.
Kekhawatiran inflasi diperburuk dalam beberapa bulan terakhir ketika China menerapkan penguncian wilayah untuk menahan penyebaran Covid-19, menambah ketegangan pada rantai pasokan.
Selain itu, perang Rusia melawan Ukraina juga menyebabkan negara-negara Eropa beralih dari minyak dan gas Moskow, membuat harga komoditas tersebut melambung dan mendorong inflasi makin meninggi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi