
BI Kerek GWM, Rupiah Menguat Tapi Masih di Atas Rp 14.600/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mampu mempertahankan penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (24/5/2022). Bank Indonesia (BI) yang kembali mengerek Giro Wajib Minimum (GWM) mampu membuat rupiah mempertahankan penguatan.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,14% ke Rp 14.650/US$. Sepanjang perdagangan hari ini, rupiah tidak pernah melemah, bahkan sempat menguat lagi 0,21%.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.655/US$, menguat 0,1% di pasar spot.
BI hari ini mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG). Hasilnya sesuai ekspektasi, suku bunga acuan masih belum diutak-atik.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada23-24April 2022memutuskan untuk mempertahankan BI7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," sebut Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers secara virtual.
Dengan demikian, BI 7 Day Reverse Repo Rate tidak pernah berubah selama 15 bulan. Suku bunga acuan 3,5% adalah yang terendah sepanjang sejarah Indonesia.
Namun, BI juga mengambil langkah-langkah guna menjaga stabilitas rupiah dengan mempercepat normalisasi kebijakan likuiditas dengan menaikkan GWM secara bertahap.
Sebelumnya di awal tahun ini, BI berencana mengerek GWM Pada Maret (100 basis poin), Juni (100 basis poin) dan September (50 basis poin), untuk bank umum konvensional (BUK) menjadi 6,5%
Dan untuk bank umum syariah (BUS) di September GWM menjadi 5%, dengan kenaikan masing-masing 50 basis poin.
Pada hari ini, BI mempercepat dan menaikkan lagi GWM tersebut. Untuk BUK, GWM yang saat ini 5% akan naik menjadi 6% di bulan Juni, kemudian 7,5% di bulan Juli dan 9% di bulan September.
Untuk BUS yang saat ini 4% naik menjadi 4,5% di Juni, 6% di Juli dan 7,5% di September.
Kenaikan tersebut diperkirakan akan menyerap likuiditas di perekonomian sebesar Rp 110 triliun. Tetapi tidak akan mengurangi kemampuan perbankan menyalurkan kredit sebab likuiditas dikatakan masih sangat longgar. Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) saat ini berada di kisaran 29% dan akan turun turun menjadi 28% dengan kenaikan GWM. Tetapi AL/DPK tersebut masih jauh lebih tinggi dari sebelum pandemi Covid-19 melanda di kisaran 21%.
Penyerapan likuiditas tersebut diharapkan mampu membuat rupiah lebih stabil.
Sementara itu dolar AS sedang mengalami koreksi akibat penurunan yield Treasury AS. Pada perdagangan Senin kemarin, indeks dolar AS jeblok lebih dari 1%, melanjutkan penurunan 1,35% sepanjang pekan lalu.
Selain penurunan yield Treasury, dolar AS juga tertekan setelah salah satu pejabat elit bank sentral AS (The Fed) menyatakan suku bunga bisa kembali diturunkan ketika inflasi sudah sukses dikendalikan.
"Saya sudah mengatakan suku bunga seharusnya naik menjadi 3,5% di akhir tahun ini, lebih tinggi dari pandangan beberapa rekan saya," kata Presiden The Fed wilayah St. Louis, James Bullard dalam wawancara bersama Fox Business Jumat pekan lalu.
Beberapa pejabat The Fed, begitu juga pelaku pasar saat ini melihat suku bunga The Fed di akhir tahun nanti berada di kisaran 2,75% - 3%, atau naik 200 basis poin lagi dari level saat ini.
"Semakin besar front-load yang kita lakukan, semakin cepat kita bisa mengendalikan inflasi dan ekspektasi inflasi, dan posisi kita akan semakin bagus. Di tahun 2023 dan 2024, kita bisa menurunkan lagi suku bunga karena inflasi sudah terkendali," kata Bullard.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
