
Bursa Asia Ditutup Beragam, Hang Seng-IHSG Ambles 1% Lebih

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik ditutup beragam pada perdagangan Senin (23/5/2022), di tengah sikap investor yang masih khawatir dengan kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS) dan perekonomian global secara luas.
Indeks Hang Seng Hong Kong memimpin pelemahan bursa Asia-Pasifik pada hari ini, yakni ambles 1,19% ke level 20.470,06. Saham-saham teknologi China yang terdaftar di bursa Hong Kong kembali menjadi pemberat Hang Seng hari ini.
Saham Bilibili ditutup ambruk 4,22% dan saham Alibaba ambrol 3,52%. Koreksi saham-saham teknologi membuat indeks teknologi Hang Seng (Hang Seng Tech Index) pun ambles 2,65%.
Selain Hang Seng, beberapa bursa saham Asia-Pasifik lainnya juga terpantau terkoreksi. Indeks Straits Times Singapura ditutup merosot 0,83% ke level 3.213,65 dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir ambles 1,12% ke posisi 6.840,775.
Sementara untuk indeks Nikkei Jepang berhasil ditutup melesat 0,98% ke level 27.001,52, Shanghai Composite China naik tipis 0,01% ke 3.146,86, ASX 200 Australia naik tipis 0,05% ke 7.148,9, dan KOSPI Korea Selatan menguat 0,31% ke posisi 2.647,38.
Bervariasinya bursa Asia-Pasifik pada hari ini terjadi di tengah sikap investor yang masih khawatir dengan kondisi ekonomi AS dan perekonomian global secara luas.
Aksi jual di pasar modal Negeri Paman Sam alias Wall Street masih cenderung terjadi hingga akhir pekan lalu dan membuat kinerja Wall Street kurang bergairah sepanjang pekan lalu setelah ekonom Goldman Sachs memperkirakan ada kemungkinan 35% ekonomi AS memasuki resesi dalam 2 tahun ke depan.
Pada perdagangan Jumat pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat tipis 0,03%, S&P 500 juga naik tipis 0,01%. Sedangkan Nasdaq Composite kembali melemah 0,3%.
Wall Street tampaknya sudah berada di ujung bull market yang telah berlangsung sejak pandemi Covid-19 memukul pasar keuangan. Saham-saham di AS terus terpukul karena pasar semakin takut akan adanya potensi resesi di AS.
Pada satu titik perdagangan hari terakhir pekan lalu, indeks S&P 500 sempat ambles setidaknya 20% di bawah puncaknya di Januari atau yang lebih dikenal sebagai bear market. Akan tetapi, reli jelang akhir perdagangan akhirnya mampu mendorong indeks untuk ditutup naik tipis kurang dari 0,1% di zona hijau.
Meski batas bear market dapat diperdebatkan, angka 20% tersebut dapat berfungsi sebagai sinyal yang menunjukkan bahwa investor telah berubah pandangan dengan menjadi lebih pesimistis akan kondisi pasar modal.
Sepanjang pekan lalu, S&P 500 melemah 2,78%, DJIA melemah 2,77%, sedangkan koreksi terdalam dicatatkan oleh Nasdaq yang turun 3,18%. Sejak awal tahun ketiga indeks tersebut masih tertekan lebih dari 15%.
Investor, trader hingga manajer investasi menghabiskan beberapa bulan pertama tahun ini dengan kekhawatiran bahwa kenaikan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan berdampak besar pada saham yang harganya semakin 'mahal'.
Akibatnya, investor cenderung melarikan diri dari saham perusahaan teknologi. Suku bunga yang lebih tinggi memang cenderung menurunkan daya pikat perusahaan dengan pertumbuhan tinggi (growth stock) yang mengandalkan janji keuntungan besar dalam beberapa tahun ke depan.
Sampai The Fed mampu meyakinkan investor bahwa mereka dapat memperketat kebijakan moneter dan menahan inflasi tanpa memicu resesi, kecil kemungkinan pasar akan stabil, menurut pandangan para analis.
Pekerjaan bank sentral akan menjadi lebih sulit oleh faktor-faktor di luar kendalinya yang telah menambah tekanan inflasi tahun ini, termasuk kebijakan nol-Covid China dan agresi militer Rusia ke Ukraina.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam
