Bursa Asia Dibuka Mixed, Shanghai Galau

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Senin, 23/05/2022 09:04 WIB
Foto: Bursa Asia (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung bervariasi dengan mayoritas menguat pada perdagangan Senin (23/5/2022), di mana kekhawatiran pelaku pasar global dapat terus mengganggu pergerakan pasar saham global.

Indeks Nikkei Jepang dibuka melesat 0,9%, Shanghai Composite China naik tipis 0,04%, ASX 200 Australia menguat 0,19%, dan KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,31%.

Sedangkan untuk indeks Hang Seng Hong Kong dibuka melemah 0,61% dan Straits Times Singapura turun 0,15%.


Dari China, saham produsen kendaraan listrik Xpeng akan melaporkan kinerja keuangan pada kuartal pertama tahun 2022 hari ini.

Bursa Asia-Pasifik yang cenderung menguat lagi pada hari ini terjadi di tengah masih kurang bergairahnya bursa saham Amerika Serikat (AS) pada Jumat akhir pekan lalu, di mana dua indeks utama Wall Street hanya menguat tipis-tipis saja.

Pada perdagangan Jumat pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat tipis 0,03% ke level 31.261,9, S&P 500 juga naik tipis 0,01% ke 3.901,37. Sedangkan Nasdaq Composite kembali melemah 0,3% ke posisi 11.354,62.

Wall Street tampaknya sudah berada di ujung bull market yang telah berlangsung sejak pandemi Covid-19 memukul pasar keuangan. Saham-saham di AS terus terpukul karena pasar semakin takut akan adanya potensi resesi di AS.

Pada satu titik perdagangan hari terakhir pekan lalu, indeks S&P 500 sempat ambles setidaknya 20% di bawah puncaknya di Januari atau yang lebih dikenal sebagai bear market. Akan tetapi, reli jelang akhir perdagangan akhirnya mampu mendorong indeks untuk ditutup naik tipis kurang dari 0,1% di zona hijau.

Meski batas bear market dapat diperdebatkan, angka 20% tersebut dapat berfungsi sebagai sinyal yang menunjukkan bahwa investor telah berubah pandangan dengan menjadi lebih pesimistis akan kondisi pasar modal.

Sepanjang pekan lalu, S&P 500 melemah 2,78%, DJIA melemah 2,77%, sedangkan koreksi terdalam dicatatkan oleh Nasdaq yang turun 3,18%. Sejak awal tahun ketiga indeks tersebut masih tertekan lebih dari 15%.

Aksi jual yang masih terjadi hingga berminggu-minggu yang sedang menimpa di pasar modal AS sudah lama tidak terjadi.

Dow mencatat kerugian mingguan kedelapan berturut-turut, rekor terpanjang sejak 1932, mendekati puncak Great Depression. S&P 500 dan Nasdaq mengalami kerugian mingguan ketujuh berturut-turut, rekor terpanjang sejak 2001, setelah gelembung dot-com pecah.

Salah satu pendorong utama di balik aksi jual di Wall Street adalah meningkatnya kekhawatiran tentang kondisi ekonomi AS dan global secara luas.

Investor, trader hingga manajer investasi menghabiskan beberapa bulan pertama tahun ini dengan kekhawatiran bahwa kenaikan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan berdampak besar pada saham yang harganya semakin 'mahal'.

Akibatnya, investor melarikan diri dari saham perusahaan teknologi, menarik miliaran dolar dari indeks Nasdaq. Suku bunga yang lebih tinggi memang cenderung menurunkan daya pikat perusahaan dengan pertumbuhan tinggi (growth stock) yang mengandalkan janji keuntungan besar dalam beberapa tahun ke depan.

Sampai The Fed mampu meyakinkan investor bahwa mereka dapat memperketat kebijakan moneter dan menahan inflasi tanpa memicu resesi, kecil kemungkinan pasar akan stabil, menurut pandangan para analis.

Pekerjaan bank sentral akan menjadi lebih sulit oleh faktor-faktor di luar kendalinya yang telah menambah tekanan inflasi tahun ini, termasuk kebijakan nol-Covid China dan agresi militer Rusia ke Ukraina.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Bursa Asia Anjlok Usai Trump Umumkan Tarif Impor Jepang-Korsel