
Rubel Rusia Mata Uang Terbaik Dunia, Amerika & Sekutu Syok?

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Rusia dengan Ukraina membuat negara pimpinan Vladimir Putin ini diberikan banyak sanksi oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Mulai dari sektor keuangan hingga energi, mulai dari korporasi hingga individu.
Dari sektor keuangan, setidaknya 7 bank dan institusi Rusia dikeluarkan dari jejaring informasi perbankan internasional yang dikenal sebagai SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication), yakni semacam platform jejaring sosial bagi bank.
SWIFT digunakan oleh bank dan lembaga keuangan lainnya untuk mengirim dan menerima informasi transaksi dengan cepat dan aman. Misalnya saja, instruksi pengiriman dana. Sistem ini juga yang berada di balik sebagian besar transaksi pembayaran dan pengiriman dana internasional. Dikeluarkan dari jejaring SWIFT akan mempersulit lembaga keuangan Rusia untuk mengirim uang ke dalam atau ke luar negeri.
Selain akan memutus SWIFT dari Rusia, Amerika Serikat dan Sekutu juga membekukan cadangan devisa bank sentral Rusia yang ditempatkan di luar negeri.
Cadangan devisa Rusia saat ini sebesar US$ 643 miliar, yang sebagian besar ditempatkan di bank sentral AS, Eropa dan China dengan estimasi sekitar US$ 492 miliar, melansir Forbes.
Pembekuan aset tersebut membuat bank sentral Rusia tidak bisa menggunakan cadangan devisanya, guna menstabilkan nilai tukar rubel. Alhasil, nilai tukar rubel jeblok hingga menyentuh RUB 150/US$ pada 7 Maret lalu, yang merupakan rekor terlemah sepanjang sejarah. Dibandingkan dengan posisi akhir 2021 hingga ke rekor tersebut, rubel jeblok lebih dari 101%.
Namun itu dulu, langkah cepat bank sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR) yang menaikkan suku bunga serta pemerintah Kremlin yang menerapkan capital control membuat rubel berbalik menguat.
![]() |
Bahkan, saat ini rubel menjadi mata uang terbaik di dunia, menguat lebih dari 20% melawan dolar AS, makin jauh meninggalkan real Brasil yang penguatannya sebesar 13%, berdasarkan data Refinitiv.
Jumat kemarin, rubel mengakhiri perdagangan di RUB 59,5/US$, yang menjadi level terkuat sejak April 2018.
CBR pada Maret lalu mengerek suku bunga menjadi 20% dari sebelumnya 9,5%. Kini dengan rubel yang makin perkasa dan inflasi yang mulai melandai, CBR memangkas suku bunga menjadi 16%, dan diperkirakan dipangkas lagi menjadi 14%, yang bisa berdampak positif ke perekonomian.
Sementara itu, kebijakan capital control yang diterapkan Putin juga memberikan dampak yang besar terhadap penguatan rubel. Kebijakan tersebut mewajibkan perusahaan Rusia mengonversi 80% valuta asingnya menjadi rubel. Rusia juga meminta gas dan minyak yang diimpor oleh negara-negara Eropa dibayar menggunakan rubel.
Selain itu, warga Rusia sebelumnya juga dilarang mengirim uang ke luar negeri, kebijakan tersebut kemudian dilonggarkan dengan memperbolehkan transfer maksimal US$ 10.000/bulan per individu.
Alhasil, nilai tukar rubel terus mengalami penguatan. Putin pun mengklaim "kemenangan" di bidang ekonomi. Putin mengatakan rencana negara Barat untuk menghancurkan ekonomi Rusia dengan berbagai sanksi yang diterapkan tidak berhasil.
Ia menunjukkan kesuksesan kebangkitan nilai tukar rubel yang sempat jeblok ke rekor terlemah sepanjang sejarah, kini berbalik menjadi mata uang terkuat di dunia, membuat dolar AS yang sedang kuat-kuatnya tumbang.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rubel Akan Terus Tindas Dolar AS?
Meski saat ini menjadi mata uang terbaik di dunia, tetapi ke depannya rubel diperkirakan bisa kembali terpuruk.
"Bank sentral Rusia menggunakan banyak instrumen untuk membuat rubel kembali bernilai, tetapi orang-orang diluar Rusia tidak mau membeli rubel kecuali memang sangat harus membeli, dan para trader melihat rubel tidak lagi mata uang yang bisa diperdagangkan dengan bebas," kata Charles-Henry Monchau, kepala investasi Syz Bank di Swiss, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (18/5/2022).
Ia menambahkan, rubel bisa terus menguat jika Rusia bisa menemukan jalan keluar dari konflik Ukraina, tetapi sebaliknya akan jeblok jika perang terus berlarut-larut.
"Jika Rusia bisa menemukan solusi masalah Ukraina dengan konsekuensi yang terukur, kemudian sanksi dicabut dan hubungan dengan Barat mulai pulih, rubel akan mempertahankan pengutannya. Di sisi lain, jika tidak ada resolusi,rubel akan jeblok, yang bisa membuat inflasi meroket dan perekonomian Rusia akan mengalami resesi yang dalam," kata Monchau.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rubel Rusia Jeblok Lagi! Strategi Perang Ekonomi Putin?
