Berkat Minyak Goreng Rupiah Jadi Tak Malu-maluin

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 May 2022 08:00
mata uang dolar rupiah dollar
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menunjukkan kinerja yang buruk sepanjang Mei. Melawan dolar Amerika Serikat (AS) rupiah nyaris tak pernah menguat. Beruntung, pada perdagangan Jumat (20/5/2022) rupiah akhirnya mampu mencatat penguatan, bahkan cukup tajam.

Melansir data Refinitiv, rupiah di pekan ini sempat merosot hingga ke Rp 14.736/US$, terlemah sejak Oktober 2020. Jumat kemarin rupiah akhirnya mampu menguat 0,54% ke Rp 14.650/US$. Penguatan tersebut mampu memangkas pelemahan rupiah menjadi 0,27%, dan tidak menjadi mata uang terburuk di Asia.

Sepanjang pekan ini, mayoritas mata uang Asia menguat melawan dolar AS, hanya rupiah dan rupee India yang pelemahannya sebesar 0,49% dan menjadi yang terburuk di Asia di pekan ini.

Jika melihat ke belakangan, rupiah tidak pernah menguat semenjak pemerintah melarang ekspor minyak goreng, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya pada 29 April lalu.

Jumat kemarin, rupiah mampu menguat setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi)mengumumkan pembukaan kembali larangan ekspor produk minyak sawit termasuk minyak goreng dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

"Berdasarkan kondisi pasokan dan harga minyak goreng saat ini, serta mempertimbangkan adanya 17 juta orang tenaga di industri sawit petani dan pekerja dan tenaga pendukung lainnya maka saya memutuskan ekspor minyak goreng akan dibuka kembali pada Senin 23 Mei 2022 ," kata Jokowi dalam pernyataan resminya, Kamis (19/5/2022).

Kabar tersebut tentunya memberikan dampak yang positif, sebab CPO merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar. Nilai ekspor CPO dan produk turunannya setiap bulannya mencapai US$ 2,5 miliar - 3 miliar.

Sebelumnya, Jokowi melarang ekspor CPO sejak 29 April lalu, dan rupiah tidak pernah menguat setelahnya. Saat ini, devisa menjadi penting untuk menjaga stabilitas rupiah di tengah tekanan dari eksternal yang sangat besar, khususnya akibat bank sentral AS (The Fed) yang sangat agresif dalam menaikkan suku bunga.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed akan Naikkan Suku Bunga Hingga 3,5%

Seperti diketahui The Fed mulai menaikkan suku bunga pada bulan Maret lalu, sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 5%.

Di bulan ini The Fed lebih agresif lagi dengan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 0,75% - 1%. Kenaikan ini menjadi yang terbesar dalam 22 tahun terakhir.

Tidak hanya sampai di situ, Ketua The Fed Jerome Powell bahkan terang-terangan menyatakan suku bunga bisa dinaikkan lagi 50 basis poin dalam beberapa pertemuan ke depan. Selasa lalu, Powell menyatakan tidak akan ragu untuk menaikkan suku bunga hingga di atas level netral guna meredam inflasi.

"Apa yang perlu kita lihat adalah inflasi turun dengan cara yang jelas dan meyakinkan. Jika kami tidak melihat itu, kami harus mempertimbangkan untuk bergerak lebih agresif," tuturnya di Konferensi Wall Street Journal yang dikutip dari Reuters.

Suku bunga dikatakan netral jika berada di level yang tidak menstimulasi perekonomian tetapi juga tidak membebaninya. Suku bunga di AS dalam posisi netral diperkirakan berada di level 3,5%, dan kemungkinan akan berada di level tersebut pada tahun depan. Sebab, pasar pasar kini melihat di akhir tahun suku bunga The Fed akan berada di kisaran 2,75% - 3%, artinya akan ada kenaikan 200 basis poin lagi.

Kenaikan suku bunga yang agresif tersebut mau tidak mau akan membuat Bank Indonesia (BI) untuk juga mengerek suku bunganya agar daya tarik aset dalam negeri masih terjaga. Suku bunga acuan BI saat ini 3,5%, dan terus menyempit dengan Amerika Serikat. Namun, kapan BI akan menaikkan suku bunga yang masih menjadi pertanyaan. BI akan mengadakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 23 - 24 Mei mendatang.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular