Inflasi AS Merembet ke Mana-Mana, Bursa Asia Ambruk Berjamaah

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
12 May 2022 17:07
Passersby are reflected on an electronic board showing the exchange rates between the Japanese yen and the U.S. dollar, the yen against the euro, the yen against the Australian dollar, Dow Jones Industrial Average and other market indices outside a brokerage in Tokyo, Japan, August 6, 2019.   REUTERS/Issei Kato
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Issei Kato)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik ditutup memerah pada perdagangan Kamis (12/5/2022), di mana investor bereaksi negatif terhadap inflasi Amerika Serikat (AS) pada April lalu yang masih cukup tinggi.

Indeks Nikkei Jepang ditutup ambles 1,77% ke level 25.748,72, Hang Seng Hong Kong ambruk 2,24% ke 19.380,34, Shanghai Composite China turun 0,12% ke 3.054,99, ASX 200 Australia ambrol 1,75% ke 6.941.

Berikutnya Straits Times Singapura berakhir anjlok 1,63% ke level 3.173,54, KOSPI Korea Selatan tergelincir 1,63% ke 2.550,08, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) drop 3,17% ke posisi 6.599,84.

Inflasi AS yang masih meninggi membuat otoritas moneter di Hong Kong melakukan intervensi untuk mempertahankan mata uangnya, di mana intervensi mata uang ini menjadi pertama kalinya sejak 2019 silam.

Sementara di China, bank sentral (People Bank of China/PBoC) menjadikan stabilisasi pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas utama dan akan meningkatkan dukungan untuk sektor-sektor yang lemah.

Pandemi virus corona (Covid-19) di China pada tahun ini diklaim menjadi yang terburuk sejak awal pandemi pada akhir tahun 2019 hingga awal tahun 2020, di mana pandemi kembali membebani pertumbuhan ekonomi dan menggetarkan rantai pasokan global.

China telah mencatat 15.000 kematian sejak virus pertama kali muncul di pusat kota Wuhan pada akhir 2019, jumlah yang relatif rendah dibandingkan dengan hampir satu juta di AS dan lebih dari setengah juta di India.

Sebagaimana diketahui, dengan strategi nol Covid-19, otoritas China telah menjebak sebagian besar dari 25 juta orang Shanghai di rumah selama berminggu-minggu. Meski strategi ini untuk membasmi wabah, nyatanya ini menyebabkan kemarahan dan protes warga karena penguncian ketat.

Shanghai merupakan pusat wabah terbaru, tetapi orang-orang di puluhan kota menjalani beberapa bentuk penguncian (lockdown), termasuk di ibu kota Beijing.

China menanggapi wabah awal itu dengan penguncian selama berbulan-bulan yang kejam. Tetapi setelah pencabutan pembatasan, sebagian besar kehidupan kembali normal terlepas dari pembatasan di perbatasan negara.

Sebagai catatan, China mengunci setidaknya 45 kota sejak Maret 2022, termasuk pusat bisnis Shanghai. Penguncian wilayah dilakukan menyusul melonjaknya kasus Covid-19 akibat varian Omicron.

Selain dari China, penyebab utama ambruknya lagi bursa Asia-Pasifik pada hari ini adalah karena investor kembali khawatir dengan inflasi di AS yang masih cukup tinggi, meski inflasi pada bulan lalu cenderung lebih baik dari Maret lalu.

Inflasi Negeri Paman Sam dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) pada bulan lalu mencapai 8,3% atau lebih buruk dari ekspektasi ekonom dan analis dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 8,1%. Namun, realisasi tersebut masih lebih landai dari inflasi Maret 2022 yang tercatat sebesar 8,5%.

Sedangkan inflasi inti, yang mengecualikan harga energi dan makanan, melompat 6,2% atau lebih buruk dari ekspektasi sebesar 6%. Dalam basis bulanan, inflasi tercatat sebesar 0,3% sedangkan inflasi inti sebesar 0,6%.

Kenaikan inflasi yang sangat tinggi membuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang sebelumnya bersikap dovish, kini menjadi hawkish, di mana ke depannya the Fed makin 'galak' dalam menentukan kebijakan moneternya dalam upaya untuk menurunkan inflasi.

Suku bunga acuan diramal bakal dinaikkan sampai lebih dari 5 kali pada tahun ini. Alhasil, aset-aset yang tergolong dalam growth stock pun makin berguguran.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular