
Crypto Crash! Bitcoin Cs Babak Belur, Ada Apa Ini?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga Bitcoin, Ethereum, dan kripto besar lainnya terpantau ambruk parah pada perdagangan Kamis (12/5/2022) siang waktu Indonesia, karena banyaknya sentimen negatif yang turut memperberat pasar kripto.
Berdasarkan data dari CoinMarketCap pukul 14:00 WIB, dari setidaknya lima kripto terbesar, termasuk stablecoin, secara mayoritas mengalami koreksi harga hingga belasan bahkan puluhan persen hari ini.
Bitcoin, kripto terbesar di dunia pun ambruk hingga 12,64% ke level US$ 26.751,5/koin atau setara dengan Rp 390.036.870/koin (asumsi kurs Rp 14.580/US$), sedangkan Ethereum ambruk hingga 20,84% ke US$ 1.821,82/koin (Rp 26.562.136/koin), dan Binance Coin (BNB) ambrol 23,32% ke US$ 232,11/koin (Rp 3.384.164/koin).
Sedangkan stablecoin Tether yang biasanya tahan banting dan cenderung stabil, kini juga ambles hingga 2,94% ke level US$ 0,97/koin (Rp 14.148/koin). Hanya USD Coin yang masih stabil di kisaran level US$ 1 per koinnya.
Berikut pergerakan lima kripto besar pada hari ini.
![]() |
Bahkan sepanjang tahun ini, tiga dari lima kripto terbesar mencatatkan koreksi hingga lebih dari 50%. Bitcoin sepanjag tahun ini saja sudah ambles hingga 43,03%, sedangkan Ethereum ambruk 51,13%, dan BNB lebih parah yakni longsor 55,97%.
Sedangkan dari stablecoin, hanya Tether yang membukukan koreksi hingga 1,76% dari awal tahun hingga hari ini, sedangkan USD Coin masih mampu mempertahankan gelarnya sebagai stablecoin.
Bitcoin kini menyentuh level terendahnya selama satu tahun terakhir atau sejak Juli tahun 2021, di mana level terendah Bitcoin saat itu berada di kisaran US$ 29.000.
![]() |
Sentimen pasar keuangan global saat ini cenderung mengarah negatif, sehingga investor cenderung melepas aset-aset berisiko termasuk kripto dan saham.
Sentimen negatif yang pertama yakni terkait rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) yang masih cukup tinggi pada periode April 2022.
inflasi Negeri Paman Sam dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) pada bulan lalu mencapai 8,3% atau lebih buruk dari ekspektasi ekonom dan analis dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 8,1%. Namun, realisasi tersebut masih lebih landai dari inflasi Maret 2022 yang tercatat sebesar 8,5%.
Sedangkan inflasi inti, yang mengecualikan harga energi dan makanan, melompat 6,2% atau lebih buruk dari ekspktasi sebesar 6%. Dalam basis bulanan, inflasi tercatat sebesar 0,3% sedangkan inflasi inti sebesar 0,6%.
Inflasi memang masih menjadi risiko utama ekonomi AS. Kenaikan inflasi yang mencapai level tertingginya dalam lebih dari 4 dekade terakhir diyakini berdampak ke semua elemen masyarakat.
Tidak hanya masyarakat kalangan bawah saja yang menderita karena tingginya harga barang dan jasa di AS. Orang-orang kaya di AS juga ikut terdampak, terutama mereka yang memiliki portofolio saham-saham teknologi dan kripto
Kenaikan inflasi yang sangat tinggi membuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang sebelumnya rajin menebar uang mendadak menjadi sangat agresif dalam mengetatkan kebijakan moneternya.
Suku bunga acuan diramal bakal dinaikkan sampai lebih dari 5 kali pada tahun ini. Alhasil, aset-aset yang tergolong dalam growth stock berguguran termasuk aset kripto. Kekayaan para crazy rich baik dari saham teknologi maupun aset kripto pun menguap.
Kenaikan harga telah menjadi perhatian utama, terutama karena The Fed menaikkan suku bunga acuan dan memangkas neraca untuk mengatasi inflasi.
Menyusul rilis inflasi tersebut, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun yang menjadi acuan di pasar sempat kembali menguat melewati level psikologis 3%.
Namun pada pukul 21:30 malam waktu AS atau pukul 08:30 WIB hari ini, yield Treasury tenor 10 tahun kembali melandai ke kisaran level 2,8%.
Sedangkan sentimen kedua yakni terkait dari kondisi pandemi virus corona (Covid-19) di China yang masih mengkhawatirkan.
China telah mencatat 15.000 kematian sejak virus pertama kali muncul di pusat kota Wuhan pada akhir 2019, jumlah yang relatif rendah dibandingkan dengan hampir satu juta di AS dan lebih dari setengah juta di India.
Sebagaimana diketahui, strategi nol Covid-19, otoritas China telah menjebak sebagian besar dari 25 juta orang Shanghai di rumah selama berminggu-minggu. Meski strategi ini untuk membasmi wabah, nyatanya ini menyebabkan kemarahan dan protes warga karena penguncian ketat.
Shanghai merupakan pusat wabah terbaru, tetapi orang-orang di puluhan kota menjalani beberapa bentuk penguncian (lockdown), termasuk di ibu kota Beijing.
China menanggapi wabah awal itu dengan penguncian selama berbulan-bulan yang kejam, tetapi setelah pencabutan pembatasan, sebagian besar kehidupan kembali normal terlepas dari pembatasan di perbatasan negara.
Di lain sisi, kebijakan lockdown ketat di China juga berimbas pada melonjaknya inflasi Negeri Panda pada bulan lalu.
China mencatatkan inflasi sebesar 2,1% pada April 2022 secara tahunan (year-on-year/YoY), yang merupakan level tertinggi sejak November 2021. Inflasi tersebut naik drastis dibandingkan yang tercatat pada Maret 2022 yakni 1,5%. Juga, jauh lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang memperkirakan inflasi akan ada di angka 1,8%.
Kebijakan lockdown yang dilakukan Presiden Xi Jinping serta meningkatnya penyebaran Covid-19 di China membuat biaya operasional naik. Pabrik-pabrik juga kesulitan untuk memperoleh bahan baku serta mengirimkan produk mereka yang membuat kenaikan harga tidak terbendung.
Kenaikan harga komoditas energi juga mau tidak mau membuat produksi dan ongkos transportasi membengkak yang membuat inflasi melonjak.
Sebagai catatan, China mengunci setidaknya 45 kota sejak Maret 2022, termasuk pusat bisnis Shanghai. Penguncian wilayah dilakukan menyusul melonjaknya kasus Covid-19 akibat varian Omicron.
Baik inflasi pangan atau non-pangan sama-sama naik pada April tahun ini. Harga pangan naik 1,9% (YoY), berbanding terbalik dengan kontraksi 1,5% bulan sebelumnya.